Selasa, 17 September 2013

Asuhan Keperawatan Spondylosis Lumbalis

PENDAHULUAN
Spondilo berasal dari bahasa Yunani yang berarti tulang belakang. Spondilosis lumbalis dapat diartikan perubahan pada sendi tulang belakang dengan ciri khas bertambahnya degenerasi discus intervertebralis yang diikuti perubahan pada tulang dan jaringan lunak, atau dapat berarti pertumbuhan berlebihan dari tulang (osteofit), yang terutama terletak di aspek anterior, lateral, dan kadang-kadang posterior dari tepi superior dan inferior vertebra centralis (corpus). 1,2
            Spondilosis lumbalis muncul pada 27-37% dari populasi yang asimtomatis.Di Amerika Serikat, lebih dari 80% individu yang berusia lebih dari 40 tahun mengalami spondilosis lumbalis, meningkat dari 3% pada individu berusia 20-29 tahun. Di dunia, spondilosis lumbal dapat mulai berkembang pada usia 20 tahun. Hal ini meningkat, dan mungkin tidak dapat dihindari, bersamaan dengan usia. Kira-kira 84% pria dan 74% wanita mempunyai osteofit vertebralis, yang sering terjadi setinggi T9-10. Kira-kira 30% pria dan 28% wanita berusia 55-64 tahun mempunyai osteofit lumbalis. Kira-kira 20% pria dan 22% wanita berusia 45-64 tahun mengalami osteofit lumbalis.2
            Rasio jenis kelamin pada keadaan ini bervariasi, namun hampir sama secara bermakna. Spondilosis lumbalis ini sendiri muncul sebagai fenomena penuaan yang tidak spesifik. Kebanyakan penelitian menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara spondilosis dengan gaya hidup, berat badan, tinggi badan, massa tubuh, aktivitas fisik, merokok dan konsumsi alkohol, atau riwayat reproduksi.2
            Spondilosis lumbalis sering bersifat asimtomatis, sehingga kita sebagai dokter sangat perlu untuk mengetahui patogenesis, gejala klinis yang sering tampak serta pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan penunjang untuk dapat menegakkan diagnosa dan memberikan penanganan yang tepat.
               


ANATOMI
Columna vertebralis merupakan poros tulang rangka tubuh yang memungkinkan untuk bergerak. Terdapat 33 columna vertebralis, meliputi 7 columna vertebra cervical, 12 columna vertebra thoracal, 5 columna vertebra lumbal, 5 columna vertebra sacral dan 4 columna vertebra coccygeal. Vertebra sacral dan cocygeal menyatu menjadi sacrum-coccyx pada umur 20 sampai 25 tahun. Columna vertebrales juga membentuk saluran untuk spinal cord. Spinal cord merupakan struktur yang Sangat sensitif dan penting karena menghubungkan otak dan sistem saraf perifer.3
            Canalis spinalis dibentuk di bagian anterior oleh discus intervertebralis atau corpus vertebra, di lateral oleh pediculus, di posterolateral oleh facet joint dan di posterior oleh lamina atau ligament kuning. Canalis spinalis mempunyai dua bagian yang terbuka di lateral di tiap segmen, yaitu foramina intervertebralis.2
Recessus lateralis adalah bagian lateral dari canalis spinalis. Dimulai di pinggir processus articularis superior dari vertebra inferior, yang merupakan bagian dari facet joint. Di bagian recessus inilah yang merupakan bagian tersempit. Setelah melengkung secara lateral mengelilingi pediculus, lalu berakhir di caudal di bagian terbuka yang lebih lebar dari canalis spinalis di lateral, yaitu foramen intervertebralis. Dinding anterior dari recessus lateralis dibatasi oleh discus intervertebralis di bagian superior, dan corpus verterbralis di bagian inferior. 2
Dinding lateral dibentuk oleh pediculus vertebralis. Dinding dorsal dibatasi oleh processus articularis superior dari vertebra bagian bawah, sampai ke bagian kecil dari lamina dan juga oleh ligamen kuning (lamina). Di bagian sempit recessus lateralis, dinding dorsalnya hanya dibentuk oleh hanya processus lateralis, dan perubahan degeneratif di daerah inilah mengakibatkan kebanyakan penekanan akar saraf pada stenosis spinalis lumbalis. 2
Akar saraf yang berhubungan dengan tiap segmen dipisahkan dari kantong dura setinggi ruang intervertebra lalu melintasi recessus lateralis dan keluar dari canalis spinalis satu tingkat dibawahnya melalui foramina intervertebralis. Di tiap-tiap titik ini dapat terjadi penekanan. 2

PATOGENESIS DAN KLASIFIKASI

Spondilosis muncul sebagai akibat pembentukan tulang baru di tempat dimana ligament anular mengalami ketegangan.1
Verbiest pada 1954, menganggap sebagai penyakit yang asalnya tidak diketahui, dengan kelainan genetik, dimana efek patologis secara keseluruhan hanya muncul saat pertumbuhan sudah lengkap dan vertebra sudah mencapai ukuran maksimal. 2
            Kebanyakan ahli menerima teori yang menjelaskan stenosis spinalis lumbalis terjadi melalui perubahan degeneratif yang menjadi instabilitas dan penekanan akar saraf yang menimbulkan masalah jika anatomi canalis spinalis seseorang tidak baik. 2
Faktor perkembangan dan kongenital termasuk beberapa variasi anatomis yang memberikan ruang lebih sempit untuk jalannya saraf, sehingga bahkan hanya dengan perubahan osseus minor dapat berkembang menjadi penekanan akar saraf: canalis spinalis yang dangkal, canalis dengan bentuk trefoil, atau anomali dari akar saraf. 2
Variasi anatomis facet joint dalam hal orientasi, bentuk, atau asimetrisitas membuat degenerasi lebih mudah terjadi yang berkembang menjadi penekanan akar saraf. Degenerasi lebih sering menyebabkan gejala penekanan akar saraf pada canalis spinalis yang sempit, dibandingkan dengan yang lebar bahkan spondilosis atau spondiloartrosis yang berat tidak memberikan tanda-tanda klinis. 2
Bentuk trefoil dari canalis spinalis adalah variasi anatomis dari canalis spinalis, yang disebabkan oleh orientasi dari lamina dan facet joint. Paling sering ditemukan setinggi L3 sampai L5. Kondisi ini dianggap sebagai faktor predisposisi berkembangnya stenosis recessus lateralis melalui perubahan degeneratif dari facet joint. 2
Kelainan-kelainan akar saraf (akar yang berhimpit, akar yang ukurannya melebihi normal, akar yang melintang) juga dapat berperan dalam berkembangnya gejala. Disproporsi antara ukuran recessus lateralis dan diameter akar yang di luar normal dapat menimbulkan gejala yang sesuai.1,2
Facet joint yang asimetris dapat mempercepat degenerasi discus, facet joint dengan orentasi ke frontal memungkinkan ruang yang lebih lebar untuk membengkok ke lateral dan oleh karena itu juga mempunyai akibat negatif terhadap integritas discus. Pada saat yang sama, juga terdapat ruang yang lebih sempit di recessus lateralis. Orientasi sendi ke sagital memungkinkan mudahnya pergeseran ke sagital dari vertebra-yaitu berkembangnya spondilolistesis degeneratif. Faktor yang didapat yaitu termasuk semua perubahan degeneratif yang berkembang menjadi penekanan akar saraf baik osseus maupun non-osseus. 2
Secara morfologis, bentuk-bentuk perlekatan struktur saraf berikut ini dapat muncul secara tunggal atau kombinasi dapat digolongkan sebagai stenosis spinalis lumbalis : 
  • stenosis spinalis centralis
  • stenosis recessus lateralis
  • penyempitan foramen intervertebralis
  • penekanan akar saraf osseus


GAMBARAN KLINIS

Spondilosis lumbalis biasanya tidak menimbulkan gejala. Ketika terdapat keluhan nyeri punggung atau nyeri skiatika, spondilosis lumbalis biasanya merupakan temuan yang tidak ada hubungannya. Biasanya tidak terdapat temuan apa-apa kecuali munculnya suatu penyulit.1
Pasien dengan stenosis spinalis lumbalis sebagian besar mengalami keluhan saat berdiri atau berjalan. Gejala atau tanda yang mncul saat berjalan berkembang menjadi claudicatio neurogenik. Dalam beberapa waktu, jarak saat berjalan akan bertambah pendek, kadang-kadang secara mendadak pasien mengurangi langkahnya. Gejala yang muncul biasanya akan sedikit sekali bahkan pada pasien yang dengan kasus lanjut.2
Gejala dan tanda yang menetap yang tidak berhubungan dengan postur tubuh disebabkan oleh penekanan permanen pada akar saraf. Nyeri tungkai bawah, defisit sensorik motorik, disfungsi sistem kemih atau impotensi seringkali dapat ditemukan. 2
Gejala dan tanda yang intermiten muncul ketika pasien berdiri, termasuk nyeri pinggang bawah, nyeri alih, atau kelemahan pada punggung. Gejala-gejala ini berhubungan dengan penyempitan recessus lateralis saat punggung meregang. Oleh karena itu, gejala-gejala akan dipicu atau diperburuk oleh postur tubuh yang diperburuk oleh lordosis lumbal, termasuk berdiri, berjalan terutama menuruni tangga atau jalan menurun, dan termasuk juga memakai sepatu hak tinggi. 2
Nyeri pinggang bawah adalah keluhan yang paling umum muncul dalam waktu yang lama sebelum munculnya penekanan radikuler. Kelemahan punggung merupakan keluhan spesifik dari pasien dimana seolah-olah punggung akan copot, kemungkinan akibat sensasi proprioseptif dari otot dan sendi tulang belakang. Kedua keluhan, termasuk juga nyeri alih (nyeri pseudoradikuler) disebabkan oleh instabilitas segmental tulang belakang dan akan berkurang dengan perubahan postur yang mengurangi posisi lordosis lumbalis : condong ke depan saat berjalan, berdiri, duduk atau dengan berbaring. Saat berjalan, gejala permanen dapat meluas ke daerah dermatom yang sebelumnya tidak terkena atau ke tungkai yang lain, menandakan terlibatnya akar saraf yang lain. Nyeri tungkai bawah dapat berkurang, yang merupakan fenomena yang tidak dapat dibedakan. Karena pelebaran foramina secara postural, beberapa pasien dapat mengendarai sepeda tanpa keluhan, pada saat yang sama mengalami gejala intermiten hanya setelah berjalan dengan jarak pendek. 2
Claudicatio intermiten neurogenik dialami oleh 80% pasien, tergantung kepada beratnya penyempitan canalis spinalis. Tanda dan gejala yang mengarahkan kepada hal tersebut adalah defisit motorik, defisit sensorik, nyeri tungkai bawah, dan kadang-kadang terdapat inkontinensia urin. Beristirahat dengan posisi vertebra lumbalis yang terfleksikan dapat mengurangi gejala, tapi tidak dalam posisi berdiri, berlawanan dengan claudicatio intermiten vaskuler. Claudicatio intermiten neurogenik disebabkan oleh insufisiensi suplai vaskuler pada satu atau lebih akar saraf dari cauda equina yang terjadi selama aktivitas motorik dan peningkatan kebutuhan oksigen yang berhubungan dengan hal tersebut. Daerah fokal yang mengalami gangguan sirkulasi tersebt muncul pada titik tempat terjadinya penekanan mekanik, dengan hipereksitabilitas neuronal yang berkembang menjadi nyeri atau paresthesia Demielinasi atau hilangnya serat saraf dalam jumlah besar akan berkembang menjadi kelemahan atau rasa kebal. Efek lain dari penekanan mekanik adalah perlekatan arachnoid yang akan memfiksasi akar saraf dan menganggu sirkulasi CSF di sekitarnya dengan akibat negatif pada metabolismenya. 2

PEMERIKSAAN RADIOLOGIS
  • X-ray, CT scan, dan MRI digunakan hanya pada keadaan dengan komplikasi.1
  • Pemeriksaan densitas tulang (misalnya dual-energy absorptiometry scan [DEXA]) memastikan tidak ada osteofit yang terdapat di daerah yang digunakan untuk pengukuran densitas untuk pemeriksaan tulang belakang. Osteofit menghasilkan gambaran massa tulang yang bertambah, sehingga membuat hasil uji densitas tulang tidak valid dan menutupi adanya osteoporosis.1

Foto X-ray polos dengan arah anteroposterior, lateral dan oblique berguna untuk menunjukkan lumbalisasi atau sakralisasi, menentukan bentuk foramina intervertebralis dan facet joint, menunjukkan spondilosis, spondiloarthrosis, retrolistesis, spondilolisis, dan spondilolistesis. Stenosis spinalis centralis atau stenosis recessus lateralis tidak dapat ditentukan dengan metode ini.2
Mielografi (tidak dilakukan lagi) bermanfaat dalam menentukan derajat dan kemiringan besarnya stenosis karena lebih dari sati titik penekanan tidak cukup. 2
         CT adalah metode terbaik untuk mengevaluasi penekanan osseus dan pada saat yang sama juga nampak struktur yang lainnya. Dengan potongan setebal 3 mm, ukuran dan bentuk canalis spinalis, recessus lateralis, facet joint, lamina, dan juga morfologi discuss intervertebralis, lemak epidural dan ligamentum clavum juga terlihat. 2
         MRI dengan jelas lebih canggih daripada CT dalam visualisasi struktur non osseus dan saat ini merupakan metode terbaik untuk mengevaluasi isi canalis spinalis. Disamping itu, di luar dari penampakan degradasi diskus pada T2 weighted image, biasanya tidak dilengkapi informasi penting untuk diagnosis stenosis spinalis lumbalis. Bagaimanapun juga, dengan adanya perkembangan pemakaian MRI yang cepat yang merupakan metode non invasif, peranan MRI dalam diagnosis penyakit ini akan bertambah. Khususnya kemungkinan untuk melakukan rangkaian fungsional spinal lumbalis akan sangat bermanfaat. 2
         Sangat penting bahwa semua gambaran radiologis berhubungan dengan gejala-gejala, karena penyempitan asimptomatik yang terlihat pada MRI atau CT sering ditemukan baik stenosis dari segmen yang asimptomatik atau pasien yang sama sekali asimptomatik dan seharusnya tidak diperhitungkan.

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Tidak ada indikasi pemeriksaan laboratorium.1

PEMERIKSAAN LAINNYA
Elektromiografi (EMG) dan nerve conduction velocity (NCV) hanya digunakan pada keadaan dengan komplikasi). 1

PENGOBATAN

Pengobatan harus disesuaikan dengan pasien, usia dan tujuan. Pada kebanyakan pasien dapa dicapai perbaikan yang nyata atau berkurangnya gejala-gejala. Gejala-gejala radikuler dan claudicatio intermitten neurogenik lebih mudah berkurang dengan pengobatan daripada nyeri punggung, yang menetap sampai pada 1/3 pasien.2
Pengobatan konservatif
         Pengobatan ini terdiri dari analgesik dan memakai korset lumbal yang mana dengan mengurangi lordosis lumbalis dapat memperbaiki gejala dan meningkatkan jarak saat berjalan. Pada beberapa kelompok pasien, perbaikan yang mereka rasakan cukup memuaskan dan jarak saat berjalan cukup untuk kegiatan sehari-hari. 2
         Percobaan dalam 3 bulan direkomendasikan sebagai bentuk pengobatan awal kecuali terdapat defisit motorik atau defisit neurologis yang progresif. Terapi konservatif untuk stenosis spinalis lumbalis dengan gejala-gejala permanen jarang sekali berhasil untuk waktu yang lama, berbeda dengan terapi konservatif untuk herniasi diskus. 2
            Terapi medis dipergunakan untuk mencari penyebab sebenarnya dari gejala nyeri punggung dan nyeri skiatika.1
-          Jangan menyimpulkan bahwa gejala pada pasien berhubungan dengan osteofitosis. Carilah penyebab sebenarnya dari gejala pada pasien.
-          Jika muncul gejala terkenanya akar saraf, maka diindikasikan untuk bed rest total selama dua hari. Jika hal tersebut tidak mengatasi keluhan, maka diindikasikan untuk bedah eksisi.
-          Pengobatan tidak diindikasikan pada keadaan tanpa komplikasi.

Terapi Pembedahan
         Terapi pembedahan diindikasikan jika terapi konservatif gagal dan adanya gejala-gejala permanen khususnya defisit mototrik.2 Pembedahan tidak dianjurkan pada keadaan tanpa komplikasi.1
            Bedah eksisi dilakukan pada skiatika dengan bukti adanya persinggungan dengan nervus skiatika yang tidak membaik dengan bed rest total selama 2 hari.1
  • Penekanan saraf dari bagian posterior osteofit adalah penyulit yang mungkin terjadi hanya jika sebuah neuroforamen ukurannya berkurang 30% dari normal.
  • Reduksi tinggi discus posterior samapi kurang dari 4 mm atau tinggi foramen sampai kurang dari 15 mm sesuai dengan diagnosis kompresi saraf yang diinduksi osteofit.
  • Jika spondilosis lumbalis mucul di canalis spinalis, maka stenosis spinalis adalah komplikasi yang mungkin terjadi.
  • Jika osteofit menghilang, carilah adanya aneurisma aorta. Aneurisma aorta dapat menyebabkan erosi tekanan dengan vertebra yang berdekatan. Jika osteofit muncul kembali, tanda yang pertama muncul seringkali adalah erosi dari osteofit-osteofit tersebut, sehingga tidak nampak lagi.
  • Terdapat kasus adanya massa tulang setinggi L4 yang menekan duodenum.

Terapi pembedahan tergantung pada tanda dan gejala klinis, dan sebagian karena pendekatan yang berbeda terhadap stenosis spinalis lumbalis, tiga kelompok prosedur operasi yang dapat dilakukan anatara lain:2
  • Operasi dekompresi
  • Kombinasi dekompresi dan stabilisasi dari segmen gerak yang tidak stabil
  • Operasi stabilisasi segmen gerak yang tidak stabil

Prosedur dekompresi adalah: dekompresi kanalis spinalis, dekompresi kanalis spinalis dengan dekompresi recessus lateralis dan foramen intervertebralis, dekompresi selektif dari akar saraf.

Dekompresi kanalis spinalis2
Laminektomi adalah metode standar untuk dekompresi kanalis spinalis bagian tengah. Keuntungannya adalah biasanya mudah dikerjakan dan mempunyai angka kesuksesan yang tinggi. Angka kegagalan dengan gejala yang rekuren adalah ¼ pasien setelah 5 tahun. Terdapat angka komplikasi post operatif non spesifik dan jaringan parut epidural yang relatif rendah.
Secara tradisional, laminektomi sendiri diduga tidak menganggu stabilitas spina lumbalis, selama struktur spina yang lain tetap intak khususnya pada pasien manula. Pada spina yang degeneratif, bagian penting yang lain seperti diskus intervertebaralis dan facet joint seringkali terganggu. Hal ini dapat menjelaskan adanya spodilolistesis post operatif setelah laminektomi yang akan memberikan hasil yang buruk.
Laminektomi dikerjakan pada keadaan adanya spondilolistesis degeneratif atau jika terdapat kerusakan operatif dari diskus atau facet joint. Terdapat insiden yang tinggi dari instabilitas post operatif. Dengan menjaga diskus bahkan yang sudah mengalami degenerasi, nampaknya membantu stabilitas segmental (Goel, 1986). Untuk alasan inilah maka discectomy tidak dianjurkan untuk stenosis spinalis lumbalis dimana gejalanya ditimbulkan oleh protrusio atau herniasi, kecuali diskus yang terherniasi menekan akar saraf bahkan setelah dekompresi recessus lateralis.
Jaringan parut epidural muncul setelah laminektomi dan kadang-kadang berlokasi di segmen yang bersebelahan dengan segmen yang dioperasi. Jika jaringan parut sangat nyata, hal ini disebut dengan “membran post laminektomi”. Autotransplantasi lemak dilakukan pada epidural oleh beberapa ahli bedah untuk mengurangi fibrosis. Walaupun beberapa telah berhasil, pembengkakan lemak post operatif dapat mengakibatkan penekanan akar saraf.
Dekompresi harus dilakukan pada pasien dengan osteoporosis. Sebaiknya dilakukan dengan hati-hati karena instabilitas post operatif sangat sulit diobati.
Laminektomi dengan facetectomy parsial adalah prosedur standar stenosis laminektomi tunggal cukup untuk stenosis kanalis spinalis, sehingga biasanya digabungkan dengan beberapa bentuk facetectomy parsial. ”Unroofing” foramen vertebralis dapat dikerjakan hanya dari arah lateral sebagaimana pada herniasi diskus foramina. Kemungkinan cara yang lain dikerjakan adalah prosedur laminoplasti dengan memindahkan dan memasukkan kembali lengkung laminar dan processus spinosus.

Dekompresi selektif akar saraf 2
Kecuali terdapat penyempitan diameter sagital kanalis spinalis, dekompresi selektif akar saraf sudah cukup, khususnya jika pasien mempunyai gejala unilateral. Facetectomy medial melalui laminotomi dapat dikerjakan. Biasanya bagian medial facet joint yang membungkus akar saraf diangkat.
Komplikasi spesifik prosedur ini antara lain insufisiensi dekompresi, instabilitas yang disebabkan oleh pengangkatan 30-40% dari facet joint, atau fraktur fatique dari pars artikularis yang menipis.

Dekompesi dan stabilisasi2
Laminektomi dapat digabungkan dengan berbagai metode stabilisasi. Sistem terbaru menggunakan skrup pedikuler, sebagaimana pada sistem yang lebih lama seperti knodt rods, harrington rods dan Luque frame dengan kawat sublaminer.
Laminektomi spondilolistesis degeneratif dan penyatuan prosesus intertranvesus dengan atau tanpa fiksasi internal adalah prosedur standar. Untuk alternatifnya dapat dilakukan penyatuan interkorpus lumbalis posterior atau penyatuan interkorpus anterior. Beberapa ahli mengatakan, laminektomi dengan penyatuan spinal lebih baik daripada laminektomi tunggal karena laminektomi tunggal berhubungan dengan insiden yang tinggi dari spondilolistesis progresif.
Komplikasi prosedur stabilisasi termasuk di dalamnya kerusakan materi osteosintetik, trauma neurovaskuler, fraktur prosesus spinosus, lamina atau pedikel, pseudoarthrosis, ileus paralitik, dan nyeri tempat donor graft iliakus. Degenerasi dan stenosis post fusi dapat muncul pada segmen yang bersebelahan dengan yang mengalami fusi yang disebabkan oleh hipermotilitas. Walaupun hasil percobaan mendukung teori ini, efek klinis dari komplikasi ini masih belum dapat diketahui.
Berbeda dari spondilolistesis degeneratif dimana dekompresi dan stablisasi adalah prosedur yang dianjurkan, tidak terdapat konsensus bahwa hal ini merupakan pengobatan yang paling efektif. Stenosis spinalis lumbalis diterapi dengan pembedahan dalam rangkaian operasi yang banyak dengan hasil jangka pendek yang baik. Namun demikian, setelah lebih dari 40 tahun, penelitian dna pengalaman dalam terapi, etiologinya masih belum dapat dimengerti secara jelas dan juga, definisi dan klasifikasi masih belum jelas karena derajat stenosis tdak selalu berhubungan dengan gejala-gejalanya.
Protokol pembedahan yang dianjurkan antara lain:
  • Pada pasien dengan gejala-gejala permanen yang bertambah saat berdiri atau menyebabkan claudicatio intermitten neurogenikà dekompresi dan stabilisasi
  • Pada pasien tanpa gejala-gejala yang permanen tapi dengan gejala intermitten yang jelas berhubungan dengan posturà dilakukan prosedur stabilisasi, terutama jika keluhan membaik dengan korset lumbal
Penurunan berat badan dan latihan untuk memperbaiki postur tubuh dan menguatkan otot-otot abdominal dan spinal harus dikerjakan bersama dengan pengobatan baik konservatif maupun pembedahan.

DAFTAR PUSTAKA

  1. Bruce M. Lumbar spondylosis. 2007 In : http://www.emedicine.com/neuro/jnl/index.htm. Accses : 10 October 2007.
  2. Thamburaj V. Lumbar spondylosis. 2007. In: http://www.pubmedcentral.nih.gov. Accses : 10 October 2007.
  3. Anonim. Lumbar Spine Stenosis A Common - Medical Illustration_files. 1998. In : http://www.w3.org/TR/html4/loose.dtd. Accses: 10 October 2007. 
  4. Anonim. Anatomy of the Vertebral Column with Typical Cervical and Lumbar Vertebrae - Medical Illustration_files. 2004. In : http://www.w3.org/TR/html4/loose.dtd. Access:10 October 2007.  
Untuk lebih jelas, KLIK »»  

Jumat, 28 Juni 2013

Pengertian Metode Penelitian

Metode penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan  data dengan tujuan  dan kegunaan tertentu. Berdasarkan hal tersebut terdapat empat kata kunci yang perlu diperhatikan yaitu, cara ilmiah, data, tujuan, dan kegunaan. Cara Ilmiah berarti kegiatan penelitian itu didasarkan pada ciri-ciri keilmuan, yaitu rasional, empiris, dan sistematis. Rasional berarti kegiatan penelitian itu dilakukan dengan cara-cara yang masuk akal, sehingga terjangkau oleh penalaran manusia. Empiris berarti cara-cara yang dilakukan itu dapat diamati oleh indera manusia, sehingga orang lain dapat mengamati dan mengetahui cara-cara yang dilakukan. (Bedakan cara yang tidak ilmiah, Misalnya mencari uang yang hilang, atau profokator, atau tahanan yang melarikan diri melalui paranormal). Sistematis artinya, proses yang digunakan dalam penelitian itu menggunakan langkah-langkah tertentu yang bersifat logis.

Data yang diperoleh melalui penelitian itu adalah data empiris (Teramati) yang mempunyai kriteria tertentu yaitu Valid. Valid menunjukkan derajad ketepatan antara data yang sesungguhnya terjadi pada obyek dengan data yang dapat dikumpulkan oleh peneliti. Misalnya dalam masyarakat tertentu dapat 5000 Orang miskin, sementara peneliti melaporkan jauh di bawah atau di atas 5000 Orang miskin, Maka derajad validitas hasil penelitian itu rendah atau misalnya dalam suatu unit kerja pemerintahan, dimana dalam unit kerja tersebut iklim kerjanya sangat bagus, sementara peneliti melaporkan iklim kerjanya tidak bagus, maka data yang dilaporkan tersebut juga tidak valid. Untuk mendapatkan data yang langsung valid dalam penelitian sering sulit dilakukan. Oleh karena itu data yang telah terkumpul sebelum diketahui validitasnya, dapat diuji melalui pengujian  reliabilitas dan Obyektifitas. Pada  umumnya kalau data itu reliabel dan obyektif, maka terdapat kecenderungan data tersebut akan valid.



Untuk lebih jelas, KLIK »»  

RESUSITASI BAYI BARU LAHIR



Untuk lebih jelas, KLIK »»  

DEFENISI KELUARGA

Defenisi Keluarga 

  • Friedman (1998) mendefinisikan bahwa keluarga adalah kumpulan dua orang atau lebih yang hidup bersama dengan keterikatan aturan dan emosional dan dan individu mempunyai peran masing-masing yang merupakan bagian dari keluarga
  • Pakar konseling keluarga dari Yogyakrta, Sayekti (1994) menuliskan bahwa keluarga adalah suatu ikatan/persekutuan hidup atas dasar perkawinan antara orang dewasa yang berlainan jenis yang hidup bersama atau  seorang laki-laki atau seorang perempuan yang sudah sendirian dengan atau tanpa anak, baik anaknya sendiri atau adopsi dan tinggal dalam sebuah rumah tangga.
  • Menurut UU No. 10 tahun 1992 tentang perkembangan kependudukan  dan pembangunan keluarga sejahtera, keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari suami-istri, atau suami-istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya
Ketiga pengertian tersebut mempunyai persamaan bahwa dalam keluarga terdapat ikatan perkawinan dan hubungan darah yang tinggal bersama dalam satu atap (Serumah) dengan peran masing-masing serta keterikatan emosional.

Indonesia merupakan salah satu negara yang menjunjung tinggi  adat ketimuran yang menekankan bahwa keluarga harus dibentuk atas dasar perkawinan, seperti tertulis  dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.. 21 Tahun 1994 bahwa keluarga dibentuk berdasarkan atas  perkawinan yang sah.
Untuk lebih jelas, KLIK »»  

Rabu, 19 Juni 2013

Menkes: Ada Dua Masalah Keperawatan Saat Ini


[JAKARTA] Menteri Kesehatan (Menkes) RI,  Nafsiah Mboi mengatakan, ada dua masalah yang masih terjadi di dunia keperawatan Indonesia saat ini, yakni terkait distribusi dan pengabdian perawat.

"Jumlah perawat kita saat ini 220.575 jiwa dan berdasarkan rasio WHO jumlah tersebut sudah mencukupi. Namun, ada dua masalah, yaitu terkait distribusi dan pengabdian perawat," katanya di Jakarta, Jumat (8/3).


Dia mengatakan, dari sisi distribusi, saat ini masih banyak perawat yang lebih suka tinggal dan bekerja di kota besar, sehingga keberadaan perawat di desa terpencil minim.

"Perawat tidak mau bekerja di daerah terpencil. Apalagi kalau perawat itu pendidikannya tinggi, dia tidak mau lagi mengurusi pekerjaan yang istilahnya kotor, mereka maunya bekerja di manajemen keperawatan. Ini tentu pasti ada masalah," kata dia.

Sementara itu di sisi pengabdian, menurut dia, perawat masih harus meningkatkan pelayanan dan pengabdiannya dengan kinerja yang profesional. Caranya dengan selalu berupaya meningkatkan jenjang pendidikannya ke tingkat lebih tinggi.

Dia mengharapkan seluruh pihak terkait, terutama instansi pendidikan untuk bisa memberikan kesempatan bagi perawat, khususnya di daerah untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, kepribadian dan tata cara melayani pasien.

Sebab, menurut Nafsiah, masih ada keluhan dari masyarakat di sejumlah tempat terkait buruknya pelayanan dari perawat puskesmas.

"Masyarakat sekarang kritis, saya pernah menerima SMS aduan dari masyarakat bahwa perawat di sebuah puskesmas jahat. Saya kaget juga kok menteri sampai mengurusi hal seperti ini, tapi memang begini lah fakta yang harus kita benahi bersama," ujar dia.

Pada bagian lain dia meminta perawat dapat bekerja dengan profesional, melayani dengan kasih sayang, dan memegang teguh etika profesi. Hal tersebut menurutnya sangat penting sebab pada tahun 2015 akan diberlakukan Masyarakat ASEAN, di mana pada masa itu akan banyak tenaga kerja asing yang masuk ke Indonesia, tidak terkecuali perawat.

"Pada 2015 akan diberlakukan Masyarakat ASEAN saya tidak bisa menghalau perawat asing untuk masuk ke Indonesia. Makanya kalau mutu perawat kita tidak becus, maka kita akan kalah bersaing," ujarnya.

Di sisi lain Nafsiah mengaku tetap mengapresiasi perkembangan dunia keperawatan saat ini yang sudah mampu menghasilkan perawat dengan spesialisasi tertentu misalnya spesialis anak, bedah, kanker, lansia dan cacat.

"Ini cukup membanggakan walaupun masih ada yang tidak mau mengambil spesialisasi tertentu seperti itu. Di dunia internasional dunia keperawatan kita juga sudah mulai dilirik misalnya oleh Jepang yang meminta agar perawat Indonesia datang ke Jepang untuk merawat para lansia di sana karena perawat Indonesia dikenal ramah dan sabar," kata dia. 

Untuk lebih jelas, KLIK »»  
LAPORAN PENDAHULUAN

ASKEP PADA KLIEN DENGAN CA NASOFARING



A.    Pengertian

Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang tumbuh di daerah nasofaring dengan predileksi di fossa Rossenmuller dan atap nasofaring.  Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang terbanyak ditemukan di Indonesia. (Efiaty & Nurbaiti, 2001)

B.    Etiologi
Insidens karsinoma nasofaring yang tinggi ini dihubungkan dengan kebiasaan makan, lingkungan dan virus Epstein-Barr (Sjamsuhidajat, 1997). Selain itu faktor geografis, rasial, jenis kelamin, genetik, pekerjaan, kebiasaan hidup, kebudayaan, sosial ekonomi, infeksi kuman atau parasit  juga sangat mempengaruhi kemungkinan timbulnya tumor ini. Tetapi sudah hampir dapat dipastikan bahwa penyebab karsinoma nasofaring adalah virus Epstein-barr, karena pada semua pasien nasofaring didapatkan titer anti-virus EEB yang cukup tinggi (Efiaty & Nurbaiti, 2001).

C.    Pathofisiologi / Pathways

Terlampir


D.    Tanda dan Gejala

Gejala karsinoma nasofaring dapat dikelompokkan menjadi 4 bagian, yaitu antara lain :
  1. Gejala nasofaring

  2. Gejala nasofaring dapat berupa epistaksis ringan atau sumbatan hidung.
2.       Gangguan pada telinga
Merupakan gejala dini karena tempat asal tumor dekat muara tuba Eustachius (fosa Rosenmuller). Gangguan yang timbul akibat sumbatan pada tuba eustachius seperti tinitus, tuli, rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri di telinga (otalgia)
3.                  Gangguan mata dan syaraf
Karena dekat dengan rongga tengkorak maka terjadi penjalaran melalui foramen laserum yang akan mengenai saraf otak ke III, IV, VI sehingga dijumpai diplopia, juling, eksoftalmus dan saraf ke V berupa gangguan motorik dan sensorik.
Karsinoma yang lanjut akan mengenai saraf otak ke IX, X, XI dan XII jika penjalaran melalui foramen jugulare yang sering disebut sindrom Jackson. Jika seluruh saraf otak terkena disebut sindrom unialteral.
4.       Metastasis ke kelenjar leher
Yaitu dalam bentuk benjolan medial terhadap muskulus sternokleidomastoid yang akhirnya membentuk massa besar hingga kulit mengkilat.

E.    Pemeriksaan Penunjang
1.        Pemeriksaan CT-Scan daerah kepala dan leher untuk mengetahui keberadaan tumor sehingga tumor primer yang tersembunyi pun akan ditemukan.
2.        Pemeriksaan Serologi IgA anti EA dan IgA anti VCA untuk mengetahui infeksi virus E-B.
3.        Untuk diagnosis pasti ditegakkan dengan Biopsi nasofaring dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dari hidung dan mulut. Dilakukan dengan anestesi topikal dengan Xylocain 10 %.
4.        Pengerokan dengan kuret daerah lateral nasofaring dalam narkosis.




F.     Penatalaksanaan Medis

1.        Radioterapi merupakan pengobatan utama
2.        Pengobatan tambahan yang diberikan dapat berupa diseksi leher ( benjolan di leher yang tidak menghilang pada penyinaran atau timbul kembali setelah penyinaran dan tumor induknya sudah hilang yang terlebih dulu diperiksa dengan radiologik dan serologik) , pemberian tetrasiklin, faktor transfer, interferon, kemoterapi, seroterapi, vaksin dan antivirus.
Pemberian ajuvan kemoterapi yaitu Cis-platinum, bleomycin dan 5-fluorouracil. Sedangkan kemoterapi praradiasi dengan epirubicin dan cis-platinum. Kombinasi kemo-radioterapi dengan mitomycin C dan 5-fluorouracil oral sebelum diberikan radiasi yang bersifat “RADIOSENSITIZER”.

G.   Pengkajian

1.        Faktor herediter atau riwayat kanker pada keluarga misal ibu atau nenek dengan riwayat kanker payudara

2.        Lingkungan yang berpengaruh seperti iritasi bahan kimia, asap sejenis kayu tertentu.

3.        Kebiasaan memasak dengan bahan atau bumbu masak tertentu dan kebiasaan makan makanan yang terlalu panas serta makanan yang diawetkan ( daging dan ikan).

4.        Golongan sosial ekonomi yang rendah juga akan menyangkut keadaan lingkungan dan kebiasaan hidup.

5.        Tanda dan gejala :

 Aktivitas

Kelemahan atau keletihan. Perubahan pada pola istirahat; adanya faktor-faktor yangmempengaruhi tidur seperti nyeri, ansietas.


 Sirkulasi

Akibat metastase tumor terdapat palpitasi, nyeri dada, penurunan tekanan darah, epistaksis/perdarahan hidung.

 Integritas ego

Faktor stres, masalah tentang perubahan penampilan, menyangkal diagnosis, perasaan tidak berdaya, kehilangan kontrol, depresi, menarik diri, marah.

 Eliminasi

Perubahan pola defekasi konstipasi atau diare, perubahan eliminasi urin, perubahan bising usus, distensi abdomen.

 Makanan/cairan

Kebiasaan diit buruk ( rendah serat, aditif, bahanpengawet), anoreksia, mual/muntah, mulut rasa kering, intoleransi makanan,perubahan berat badan, kakeksia, perubahan kelembaban/turgor kulit.

 Neurosensori

Sakit kepala, tinitus, tuli, diplopia, juling, eksoftalmus

 Nyeri/kenyamanan

Rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri telinga (otalgia), rasa kaku di daerah leher karena fibrosis jaringan akibat penyinaran

 Pernapasan

Merokok (tembakau, mariyuana, hidup dengan seseorang yang merokok), pemajanan

 Keamanan

Pemajanan pada kimia toksik, karsinogen, pemajanan matahari lama / berlebihan, demam, ruam kulit.

 Seksualitas

Masalah seksual misalnya dampak hubungan, perubahan pada tingkat kepuasan.

 Interaksi sosial

Ketidakadekuatan/kelemahan sistem pendukung

DAFTAR PUSTAKA



1.      Smeltzer Suzanne C. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Alih bahasa Agung Waluyo, dkk. Editor Monica Ester, dkk. Ed. 8. Jakarta : EGC; 2001.

2.      Doenges, Marilynn E. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk Perencanaan dan pendokumentasian Perawatan Pasien. Alih bahasa I Made Kariasa. Ed. 3. Jakarta : EGC;1999

3.      Efiaty Arsyad Soepardi & Nurbaiti Iskandar. Buku Ajar Ilmu Kesehatan : Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2001

4.      R. Sjamsuhidajat &Wim de jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi revisi. Jakarta : EGC ; 1997

5.   Purnaman S. Pandi.

















Untuk lebih jelas, KLIK »»  

ASKEP ANGIOFIBROMA NASOFARING BELIA

ANGIOFIBROMA

A.    PENGERTIAN
Angiofibroma nasofaring belia adalah sebuah tumor jinak nasofaring yang cenderung menimbulkan perdarahan yang sulit dihentikan dan terjadi pada laki-laki prepubertas dan remaja.
Angiofibroma nasofaring belia merupakan neoplasma vaskuler yang terjadi hanya ada laki-laki, biasanya selama masa prepubertas dan remaja
Umumnya terdapat pada rentang usia 7 s/d 21 tahun dengan insidens terbanyak antara usia 14-18 tahun dan jarang pada usia diatas 25 tahun.
Tumor ini merupakan tumor jinak nasofaring terbanyak dan 0,05% dari seluruh tumor kepala dan leher

B.     ETIOLOGI
Etiologi tumor ini masih belum jelas, berbagai jenis teori banyak diajukan. Diantaranya teori jaringan asal dan faktor ketidak-seimbangan hormonal.
Secara histopatologi tumor ini termasuk jinak tetapi secara klinis ganas karena bersifat ekspansif dan mempunyai kemampuan mendestruksi tulang. Tumor yang kaya pembuluh darah ini memperoleh aliran darah dari arteri faringealis asenden atau arteri maksilaris interna. Angiofibroma kaya dengan jaringan fibrosa yang timbul dari atap nasofaring atau bagian dalam dari fossa pterigoid. Setelah mengisi nasofaring, tumor ini meluas ke dalam sinus paranasal, rahang atas, pipi dan orbita serta dapat meluas ke intra kranial setelah mengerosi dasar tengkorak .

C.    TANDA DAN GEJALA
Gejala klinik terdiri dari hidung tersumbat (80-90%); merupakan gejala yang paling sering, diikuti epistaksis (45-60%); kebanyakan unilateral dan rekuren, nyeri kepala (25%); khususnya bila sudah meluas ke sinus paranasal, pembengkakan wajah (10-18%) dan gejala lain seperti anosmia, rhinolalia, deafness, pembengkakan palatum serta deformitas pipi. Tumor ini sangat sulit untuk di palpasi, palpasi harus sangat hati-hati karena sentuhan jari pada permukaan tumor dapat menimbulkan perdarahan yang ekstensif.

D.    PENEGAKAN DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang seperti x-foto polos, CT scan, angiografi atau MRI. Dijumpai tanda Holman-Miller pada pemeriksaan x-foto polos berupa lengkungan ke depan dari dinding posterior sinus maksila4. Biopsi tidak dianjurkan mengingat resiko perdarahan yang masif dan karena teknik pemeriksaan radiologi yang modern sekarang ini dapat menegakkan diagnosis dengan tingkat ketepatan yang tinggi.
Tumor ini dapat didiagnosis banding dengan polip koana, adenoid hipertrofi, dan lain-lain.

E.     PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan tumor ini adalah dengan pembedahan; dimana 6-24% rekuren, stereotactic radioterapi; digunakan jika ada perluasan ke intrakranial atau pada kasus-kasus yang rekuren.
Penatalaksanaan tumor ini adalah dengan pembedahan yang sering didahului oleh embolisasi intra-arterial 24-48 jam preoperatif yang berguna untuk mengurangi perdarahan selama operasi2,4,5. Material yang digunakan untuk embolisasi ini terdiri dari mikropartikel reabsorpsi seperti Gelfoam, Polyvinyl alcohol atau mikropartikel nonabsorpsi seperti Ivalon dan Terbal. Penggunaan embolisasi ini tergantung pada ahli bedah masing-masing.

F.     KOMPLIKASI
Komplikasi yang timbul dapat berupa perdarahan yang berlebihan dan transformasi maligna.



G.    STADIUM ANGIOFIBROMA
Untuk menentukan perluasan tumor, dibuat sistem staging. Ada 2 sistem yang paling sering digunakan yaitu Sessions dan Fisch.
Klasifikasi menurut Sessions sebagai erikut :
1.      Stage IA          : Tumor terbatas pada nares posterior dan/atau nasofaring
2.      Stage IB          : Tumor melibatkan nares posterior dan/atau nasofaring dengan perluasan ke satu sinus paranasal.
3.      Stage IIA        : Perluasan lateral minimal ke dalam fossa pterygomaksila.
4.      Stage IIB        : Mengisi seluruh fossa pterygomaksila dengan atau tanpa erosi ke tulang orbita.
5.      Stage IIIA       : Mengerosi dasar tengkorak; perluasan intrakranial yang minimal.
6.      Stage IIIB       : Perluasan ke intrakranial dengan atau tanpa perluasan ke dalam sinus kavernosus.

Klasifikasi menurut Fisch :
  1. Stage I             : Tumor terbatas pada kavum nasi, nasofaring tanpa destruksi tulang.
  2. Stage II           :Tumor menginvasi fossa pterygomaksila, sinus paranasal dengan destruksi tulang.
  3. Stage III          :Tumor menginvasi fossa infra temporal, orbita dan/atau daerah parasellar sampai sinus kavernosus.
  4. Stage IV          : Tumor menginvasi sinus kavernosus, chiasma optikum dan/atau fossa pituitary.







H.    PENGKAJIAN

a.        Faktor herediter atau riwayat kanker pada keluarga misal ibu atau nenek dengan riwayat kanker payudara

b.        Lingkungan yang berpengaruh seperti iritasi bahan kimia, asap sejenis kayu tertentu.

c.        Kebiasaan memasak dengan bahan atau bumbu masak tertentu dan kebiasaan makan makanan yang terlalu panas serta makanan yang diawetkan ( daging dan ikan).


d.       Golongan sosial ekonomi yang rendah juga akan menyangkut keadaan lingkungan dan kebiasaan hidup. (Efiaty & Nurbaiti, 2001 hal 146)


e.        Tanda dan gejala :

v  Aktivitas

Kelemahan atau keletihan. Perubahan pada pola istirahat; adanya faktor-faktor yang mempengaruhi tidur seperti nyeri, ansietas.


v  Sirkulasi

Akibat metastase tumor terdapat palpitasi, nyeri dada, penurunan tekanan darah, epistaksis/perdarahan hidung.


v  Integritas ego

Faktor stres, masalah tentang perubahan penampilan, menyangkal diagnosis, perasaan tidak berdaya, kehilangan kontrol, depresi, menarik diri, marah.


v  Eliminasi

Perubahan pola defekasi konstipasi atau diare, perubahan eliminasi urin, perubahan bising usus, distensi abdomen.

v  Makanan/cairan

Kebiasaan diit buruk ( rendah serat, aditif, bahanpengawet), anoreksia, mual/muntah, mulut rasa kering, intoleransi makanan,perubahan berat badan, kakeksia, perubahan kelembaban/turgor kulit.


v  Neurosensori

Sakit kepala, tinitus, tuli, diplopia, juling, eksoftalmus

v  Nyeri/kenyamanan

Rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri telinga (otalgia), rasa kaku di daerah leher karena fibrosis jaringan

v  Pernapasan

Merokok (tembakau, mariyuana, hidup dengan seseorang yang merokok)

v  Keamanan

Pemajanan pada kimia toksik, karsinogen, pemajanan matahari lama / berlebihan, demam, ruam kulit.

v  Interaksi sosial

Ketidakadekuatan/kelemahan sistem pendukung
                 (Doenges, 2000)


H.  Diagnosa Keperawatan dan Intervensi

Nyeri berhubungan dengan kompresi/destruksi karingan saraf

Tujuan : rasa nyeri teratasi atau terkontrol
Kriteria hasil : mendemonstrasikan penggunaan ketrampilan relaksasi nyeri .
Intervensi :
S  Tentukan riwayat nyeri misalnya lokasi, frekuensi, durasi
S  Berikan tindakan kenyamanan dasar (reposisi, gosok punggung) dan aktivitas hiburan.
S  Dorong penggunaan ketrampilan manajemen nyeri (teknik relaksasi, visualisasi, bimbingan imajinasi) musik, sentuhan terapeutik.
S  Evaluasi penghilangan nyeri atau kontrol
S  Kolaborasi : berikan analgesik sesuai indikasi misalnya Morfin, metadon atau campuran narkotik.

2. Gangguan sensori persepsi berubungan dengan gangguan status organ sekunder
Tujuan : mampu beradaptasi terhadap perubahan sensori pesepsi
Kriteria hasil : mengenal gangguan dan berkompensasi terhadap perubahan
Intervensi :
S  Tentukan ketajaman penglihatan, apakah satu atau dua mata terlibat.
S  Orientasikan pasien terhadap lingkungan
S  Observasi tanda-tanda dan gejala disorientasi
S  Perhatikan tentang suram atau penglihatan kabur
S  Bicara dengan gerak mulut yang jelas
S  Bicara pada sisi telinga yang sehat

3. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia,   mual muntah sekunder
Tujuan : kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi.
Kriteria hasil :
§  Melaporkan penurunan mual dan insidens muntah
§  Mengkonsumsi makanan dan cairan yang adekuat
§  Menunjukkan turgor kulit normal dan membran mukosa yang lembab
§  Melaporkan tidak adanya penurunan berat badan tambahan
     Intervensi :
S  Sesuaikan diet sebelum dan sesudah pemberian obat sesuai dengan kesukaan dan toleransi pasien
S  Berikan dorongan higiene oral yang sering
S  Berikan antiemetik, sedatif dan kortikosteroid yang diresepkan
S  Pastikan hidrasi cairan yang adekuat sebelum, selama dan setelah pemberian obat, kaji masukan dan haluaran.
S  Pantau masukan makanan tiap hari.
S  Ukur TB, BB dan ketebalan kulit trisep (pengukuran antropometri)
S  Dorong pasien untuk makan diet tinggi kalori, kaya nutrien dengan masukan cairan adekuat.
S  Kontrol faktor lingkungan (bau dan panadangan yang tidak sedap dan kebisingan)

4. Resiko infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan pertahanan sekunder imunosupresi
Tujuan : tidak terjadi infeksi
Kriteria hasil :
§  Menunjukkan suhu normal dan tanda-tanda vital normal
§  Tidak menunjukkan tanda-tanda inflamasi : edema setempat, eritema, nyeri.
§  Menunjukkan bunyi nafas normal, melakukan nafas dalam untuk menegah disfungsi dan infeksi respiratori
Intervensi :
S  Kaji pasienterhadap bukti adanya infeksi :
S  Periksa tanda vital, pantau jumlah SDP, tempat masuknya patogen, demam, menggigil, perubahan respiratori atau status mental, frekuensi berkemih atau rasa perih saat berkemih
S  Tingkatkan prosedur cuci tangan yang baik pada staf dan pengunjung, batasi pengunjung yang mengalami infeksi.
S  Tekankan higiene personal
S  Pantau suhu
S  Kaji semua sistem (pernafasan, kulit, genitourinaria)

9. Resiko terhadap perdarahan berhubungan dengan gangguan sistem hematopoetik
Tujuan : perdarahan dapat teratasi
Kriteria hasil :
§  Tanda dan gejala perdarahan teridentifikasi
§  Tidak menunjukkan adanya epistaksis
Intervensi :
S  Kaji terhadap potensial perdarahan : pantau jumlah trombosit
S  Kaji terhadap perdarahan : epsitaksis
S  Instruksikan cara-cara meminimalkan perdarahan : minimalkan penekanan/ gesekan pada hidung


Kepustakaan

1.      Averdi R, Umar SD. Angiofibroma Nasofaring Belia. Dalam : Efiaty AS, Nurbaiti I.
2.      Buku ajar ilmu kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi ke 5, Jakarta : Balai Penerbit FK UI, 2001. 151-2.
3.      Tewfik TL. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. Available from URL : http://www.emedicine.com/ent/topic470.htm
4.      Adams GL, et al. Boies – Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1997.
5.       Sadeghi N. Sinonasal Papillomas, Treatment. Available from URL : http://www.emedicine.com/ent/topic529.htm
6.      Doenges, Marilynn E. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk Perencanaan dan pendokumentasian Perawatan Pasien. Alih bahasa I Made Kariasa. Ed. 3. Jakarta : EGC;1999
7.      Efiaty Arsyad Soepardi & Nurbaiti Iskandar. Buku Ajar Ilmu Kesehatan : Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2001
8.      R. Sjamsuhidajat &Wim de jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi revisi. Jakarta : EGC ; 1997
4.   Smeltzer Suzanne C. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Alih bahasa Agung Waluyo, dkk. Editor Monica Ester, dkk. Ed. 8. Jakarta : EGC; 2001




Untuk lebih jelas, KLIK »»