Tampilkan postingan dengan label kesehatan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kesehatan. Tampilkan semua postingan

Senin, 28 Januari 2013

LUKA TUSUK ABDOMEN


LUKA TUSUK ABDOMEN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Luka robek (vulnus laceratum) sering disertai luka lecet (excoriasis), yakni luka atau rusaknya jaringan kulit luar, akibat benturan dengan benda keras, seperti aspal jalan, bebatuan atau benda kasar lainnya. Sementara luka tusuk (vulnus functum), yakni luka yang disebabkan benda tajam seperti pisau, paku dan sebagainya. Biasanya pada luka tusuk, darah tidak keluar (keluar sedikit) kecuali benda penusuknya dicabut. Luka tusuk sangat berbahaya bila mengenai organ vital seperti paru, jantung, ginjal maupu abdomen.
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi bentuk luka tusuk, salah satunya adalah reaksi korban saat ditusuk atau saat pisau keluar, hal tersebut dapat menyebabkan lukanya menjadi tidak begitu khas. Atau manipulasi yang dilakukan pada saat penusukan juga akan mempengaruhi. Beberapa pola luka yang dapat ditemukan :
1. Tusukan masuk, yang kemudian dikeluarkan sebagian, dan kemudian ditusukkan kembali melalui saluran yang berbeda. Pada keadaan tersebut luka tidak sesuai dengan gambaran biasanya dan lebih dari satu saluran dapat ditemui pada jaringan yang lebih dalam maupun pada organ.
2. Tusukan masuk kemudian dikeluarkan dengan mengarahkan ke salah satu sudut, sehingga luka yang terbentuk lebih lebar dan memberikan luka pada permukaan kulit seperti ekor.
3. Tusukan masuk kemuadian saat masih di dalam ditusukkan ke arah lain, sehingga saluran luka menjadi lebih luas. Luka luar yang terlihat juga lebih luas dibandingkan dengan lebar senjata yang digunakan.
4. Tusukan masuk yang kemudian dikeluarkan dengan mengggunakan titik terdalam sebagai landasan, sehingga saluran luka sempit pada titik terdalam dan terlebar pada bagian superfisial. Sehingga luka luar lebih besar dibandingkan lebar senjata yang digunakan.
5. Tusukan diputar saat masuk, keluar, maupun keduanya. Sudut luka berbentuk ireguler dan besar.
B. Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu untuk mengetahui pengertian, penyebab, tanda dan gejala serta penanganan kegawat daruratan pada Luka Tusuk Abdomen

C. Sistematika Penulisan
Pada penulisan makalah ini dibagi dalam tiga bab, setiap bab diuraikan secara singkat dan dalam bentuk makalah yakni :Bab satu terdiri dari pendahuluan yang berisikan latar belakang, tujuan penulisan, dan sistematika penulisan. Bab dua terdiri dari konsep dasar keperawatan dan asuhan keperawatan gawat darurat. Dan bab tiga berisi kesimpulan dan saran-saran.








BAB II
ISI
I. KONSEP DASAR TEORI
A. Pengertian Luka Tusuk Abdomen
Luka tusuk merupakan bagian dari trauma tajam yang mana luka tusuk masuk ke dalam jaringan tubuh dengan luka sayatan yang sering sangat kecil pada kulit, misalnya luka tusuk pisau. Berat ringannya luka tusuk tergantung dari dua faktor yaitu :
1.Lokasi anatomi injury
2.Kekuatan tusukan, perlu dipertimbangkan panjangnya benda yang digunakan untuk menusuk dan arah tusukan.
Jika abdomen mengalami luka tusuk, usus yang menempati sebagian besar rongga abdomen akan sangat rentan untuk mengalami trauma penetrasi. Secara umum organ-organ padat berespon terhadap trauma dengan perdarahan. Sedangkan organ berongga bila pecah mengeluarkan isinya dalam hal ini bila usus pecah akan mengeluarkan isinya ke dalam rongga peritoneal sehingga akan mengakibatkan peradangan atau infeksi.
Trauma abdomen adalah cedera pada abdomen, dapat berupa trauma tumpul dan tembus serta trauma yang disengaja atau tidak disengaja (Smeltzer, 2001). Trauma perut merupakan luka pada isi rongga perut dapat terjadi dengan atau tanpa tembusnya dinding perut dimana pada penanganan/penatalaksanaan lebih bersifat kedaruratan dapat pula dilakukan tindakan laparatomi (FKUI, 1995).
B. Etiologi dan Klasifikasi
1. Trauma tembus (trauma perut dengan penetrasi kedalam rongga peritonium).Disebabkan oleh : luka tusuk, luka tembak.
2. Trauma tumpul (trauma perut tanpa penetrasi kedalam rongga peritonium).Disebabkan oleh : pukulan, benturan, ledakan, deselerasi, kompresi atau sabuk pengaman (set-belt) (FKUI, 1995).
C. Patofisiologi
Tusukan/tembakan ; pukulan, benturan, ledakan, deselerasi, kompresi atau sabuk pengaman (set-belt)-Trauma abdomen- :
a. Trauma tumpul abdomen
• Kehilangandarah.
• Memar/jejas pada dinding perut.
• Kerusakan organ-organ.
• Nyeri
• Iritasi cairan usus
b. Trauma tembus abdomen
• Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ
• Respon stres simpatis
• Perdarahan dan pembekuan darah
• Kontaminasi bakteri
• Kematian sel
c. 1 & 2 menyebabkan :
• Kerusakan integritas kulit
• Syok dan perdarahan
• Kerusakan pertukaran gas
• Risiko tinggi terhadap infeksi
• Nyeri akut (FKUI, 1995).
D. Tanda dan Gejala
1. Trauma tembus (trauma perut dengan penetrasi kedalam rongga peritonium) :
• Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ
• Respon stres simpatis
• Perdarahan dan pembekuan darah
• Kontaminasi bakteri
• Kematian sel
2. Trauma tumpul (trauma perut tanpa penetrasi kedalam rongga peritonium).
• Kehilangan darah.
• Memar/jejas pada dinding perut.
Kerusakan organ-organ
• Nyeri tekan, nyeri ketok, nyeri lepas dan kekakuan (rigidity) dinding perut.
• Iritasi cairan usus (FKUI, 1995).
E. Komplikasi
Segera :hemoragi, syok, dan cedera.
Lambat :infeksi (Smeltzer, 2001).
F. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan rektum : adanya darah menunjukkan kelainan pada usus besar ; kuldosentesi, kemungkinan adanya darah dalam lambung ; dan kateterisasi, adanya darah menunjukkan adanya lesi pada saluran kencing.
Laboratorium : hemoglobin, hematokrit, leukosit dan analisis urine.
Radiologik : bila diindikasikan untuk melakukan laparatomi.
IVP/sistogram : hanya dilakukan bila ada kecurigaan terhadap trauma saluran kencing.
Parasentesis perut : tindakan ini dilakukan pada trauma tumpul perut yang diragukan adanya kelainan dalam rongga perut atau trauma tumpul perut yang disertai dengan trauma kepala yang berat, dilakukan dengan menggunakan jarum pungsi no 18 atau 20 yang ditusukkan melalui dinding perut didaerah kuadran bawah atau digaris tengah dibawah pusat dengan menggosokkan buli-buli terlebih dahulu.
Lavase peritoneal : pungsi dan aspirasi/bilasan rongga perut dengan memasukkan cairan garam fisiologis melalui kanula yang dimasukkan kedalam rongga peritonium (FKUI, 1995).
G. Penatalaksanaan
a. Pemasangan NGT untuk pengosongan isi lambung dan mencegah aspirasi.
b. menilai urin yang keluar (perdarahan).
c. Pembedahan/laparatomi (untuk trauma tembus dan trauma tumpul jika terjadi rangsangan peritoneal : syok ; bising usus tidak terdengar ; prolaps visera melalui luka tusuk ; darah dalam lambung, buli-buli, rektum ; udara bebas intraperitoneal ; lavase peritoneal positif ; cairan bebas dalam rongga perut) (FKUI, 1995).
II. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian Data
DasarPemeriksaan fisik ‘head to toe’ harus dilakukan dengan singkat tetapi menyeluruh dari bagian kepala ke ujung kaki.
Pengkajian data dasar menurut Doenges (2000), adalah:
1. Aktifitas/istirahat
Data Subyektif : Pusing, sakit kepala, nyeri, mulas,
Data Obyektif : Perubahan kesadaran, masalah dalam keseim Bangan cedera (trauma)
2. Sirkulasi
Data Obyektif: kecepatan (bradipneu, takhipneu), pola napas(hipoventilasi, hiperventilasi, dll),
3. Integritas ego
Data Subyektif : Perubahan tingkah laku/ kepribadian (tenangatau dramatis)
Data Obyektif : Cemas, Bingung, Depresi.
4. Eliminasi
Data Subyektif : Inkontinensia kandung kemih/usus ataumengalami gangguan fungsi.
5. Makanan dan cairan
Data Subyektif : Mual, muntah, dan mengalami perubahanSelera makan.
Data Obyektif : Mengalami distensi abdomen.
6. Neurosensori.
Data Subyektif : Kehilangan kesadaran sementara, vertigo
Data Obyektif : Perubahan kesadaran bisa sampai koma,perubahan status mental,Kesulitan dalam menentukan posisi tubuh.
7. Nyeri dan kenyamanan
Data Subyektif : Sakit pada abdomen dengan intensitas danlokasi yang berbeda, biasanya lama.
Data Obyektif : Wajah meringis, gelisah, merintih
8. PernafasanData Subyektif : Perubahan pola nafas.
9. Keamanan
Data Subyektif : Trauma baru/ trauma karena kecelakaan.
Data Obyektif : Dislokasi gangg kognitif.Gangguan rentang gerak.
B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan pada pasien dengan trauma abdomen (Wilkinson, 2006) adalah :
1. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan cedera tusuk.
2. Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan gangguan integritas kulit.
3. Nyeri akut berhubungan dengan trauma/diskontinuitas jaringan.
4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum.
5. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri/ketidak nyamanan, terapi pembatasan aktivitas, dan penurunan kekuatan/tahanan.

C. Implementasi dan Intervensi
1. Kerusakan integritas kulit adalah keadaan kulit seseorang yang mengalami perubahan secara tidak diinginkan.
Tujuan : Mencapai penyembuhan luka pada waktu yang sesuai.
Kriteria Hasil :
• tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus.
• luka bersih tidak lembab dan tidak kotor.
• Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.
Intervensi dan Implementasi :
a. Kaji kulit dan identifikasi pada tahap perkembangan luka.R/ mengetahui sejauh mana perkembangan luka mempermudah dalam melakukan tindakan yang tepat.
b. Kaji lokasi, ukuran, warna, bau, serta jumlah dan tipe cairan luka.R/ mengidentifikasi tingkat keparahan luka akan mempermudah intervensi.
c. Pantau peningkatan suhu tubuh. R/ suhu tubuh yang meningkat dapat diidentifikasikan sebagai adanya proses peradangan.
d. Berikan perawatan luka dengan tehnik aseptik. Balut luka dengan kasa kering dan steril, gunakan plester kertas.
R/ tehnik aseptik membantu mempercepat penyembuhan luka dan mencegah terjadinya infeksi.
e. jika pemulihan tidak terjadi kolaborasi tindakan lanjutan, misalnya debridement. R/ agar benda asing atau jaringan yang terinfeksi tidak menyebar luas pada area kulit normal lainnya.
f. Setelah debridement, ganti balutan sesuai kebutuhan.
R/ balutan dapat diganti satu atau dua kali sehari tergantung kondisi parah/ tidak nya luka, agar tidak terjadi infeksi.
g. Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai indikasi. R / antibiotik berguna untuk mematikan mikroorganisme pathogen pada daerah yang berisiko terjadi infeksi.
2. Risiko infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan perifer, perubahan sirkulasi, kadar gula darah yang tinggi, prosedur invasif dan kerusakan kulit.
Tujuan : infeksi tidak terjadi / terkontrol.
Kriteria hasil :
• tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus.
• luka bersih tidak lembab dan tidak kotor.
• Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.
Intervensi dan Implementasi :
a. Pantau tanda-tanda vital.R/ mengidentifikasi tanda-tanda peradangan terutama bila suhu tubuh meningkat.
b. Lakukan perawatan luka dengan teknik aseptik. R/ mengendalikan penyebaran mikroorganisme patogen.
c. Lakukan perawatan terhadap prosedur invasif seperti infus, kateter, drainase luka, dll. R/ untuk mengurangi risiko infeksi nosokomial.
d. Jika ditemukan tanda infeksi kolaborasi untuk pemeriksaan darah, seperti Hb dan leukosit.R/ penurunan Hb dan peningkatan jumlah leukosit dari normal bisa terjadi akibat terjadinya proses infeksi.
e. Kolaborasi untuk pemberian antibiotik. R/ antibiotik mencegah perkembangan mikroorganisme patogen.
3. Nyeri adalah pengalaman sensori serta emosi yang tidak menyenangkan dan meningkat akibat adanya kerusakan jaringan aktual atau potensial, digambarkan dalam istilah seperti kerusakan ; awitan yang tiba-tiba atau perlahan dari intensitas ringan samapai berat dengan akhir yang dapat di antisipasi atau dapat diramalkan dan durasinya kurang dari enam bulan.
Tujuan : nyeri dapat berkurang atau hilang.
Kriteria Hasil :
• Nyeri berkurang atau hilang
• Klien tampak tenang.
Intervensi dan Implementasi :
a. Lakukan pendekatan pada klien dan keluarga R/ hubungan yang baik membuat klien dan keluarga kooperatif
b. Kaji tingkat intensitas dan frekwensi nyeri R/ tingkat intensitas nyeri dan frekwensi menunjukkan skala nyeri
c. Jelaskan pada klien penyebab dari nyeri \R/ memberikan penjelasan akan menambah pengetahuan klien tentang nyeri
d. Observasi tanda-tanda vital.
R/ untuk mengetahui perkembangan klien
e. Melakukan kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian analgesic R/ merupakan tindakan dependent perawat, dimana analgesik berfungsi untuk memblok stimulasi nyeri.
4. Intoleransi aktivitas adalah suatu keadaaan seorang individu yang tidak cukup mempunyai energi fisiologis atau psikologis untuk bertahan atau memenuhi kebutuhan atau aktivitas sehari-hari yang diinginkan.
Tujuan : pasien memiliki cukup energi untuk beraktivitas.
Kriteria hasil :
• perilaku menampakan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan diri.
• pasien mengungkapkan mampu untuk melakukan beberapa aktivitas tanpa dibantu.
• Koordinasi otot, tulang dan anggota gerak lainya baik.
Intervensi dan Implementasi :
a. Rencanakan periode istirahat yang cukup. R/ mengurangi aktivitas yang tidak diperlukan, dan energi terkumpul dapat digunakan untuk aktivitas seperlunya secar optimal.
b. Berikan latihan aktivitas secara bertahap.
R/ tahapan-tahapan yang diberikan membantu proses aktivitas secara perlahan dengan menghemat tenaga namun tujuan yang tepat, mobilisasi dini.
c. Bantu pasien dalam memenuhi kebutuhan sesuai kebutuhan.
R/ mengurangi pemakaian energi sampai kekuatan pasien pulih kembali.
d. Setelah latihan dan aktivitas kaji respons pasien.
R/ menjaga kemungkinan adanya respons abnormal dari tubuh sebagai akibat dari latihan.
5. Hambatan mobilitas fisik adalah suatu keterbatasan dalam kemandirian, pergerakkan fisik yang bermanfaat dari tubuh atau satu ekstremitas atau lebih.
Tujuan : pasien akan menunjukkan tingkat mobilitas optimal.
Kriteria hasil :
• penampilan yang seimbang..
• melakukan pergerakkan dan perpindahan.
• mempertahankan mobilitas optimal yang dapat di toleransi, dengan karakteristik :
0 = mandiri penuh
1 = memerlukan alat Bantu.
2 = memerlukan bantuan dari orang lain untuk bantuan, pengawasan, dan pengajaran.
3 = membutuhkan bantuan dari orang lain dan alat Bantu.
4 = ketergantungan; tidak berpartisipasi dalam aktivitas.
Intervensi dan Implementasi :
a. Kaji kebutuhan akan pelayanan kesehatan dan kebutuhan akan peralatan.R/ mengidentifikasi masalah, memudahkan intervensi.
b. Tentukan tingkat motivasi pasien dalam melakukan aktivitas.
R/ mempengaruhi penilaian terhadap kemampuan aktivitas apakah karena ketidakmampuan ataukah ketidakmauan.
c. Ajarkan dan pantau pasien dalam hal penggunaan alat bantu. R/ menilai batasan kemampuan aktivitas optimal.
d. Ajarkan dan dukung pasien dalam latihan ROM aktif dan pasif.R/ mempertahankan /meningkatkan kekuatan dan ketahanan otot.
e. Kolaborasi dengan ahli terapi fisik atau okupasi.
R/ sebagai suaatu sumber untuk mengembangkan perencanaan dan mempertahankan/meningkatkan mobilitas pasien.


D. EVALUASI
Evaluasi yang diharapkan pada pasien dengan trauma abdomen adalah :
1. Mencapai penyembuhan luka pada waktu yang sesuai.
2. Infeksi tidak terjadi / terkontrol.
3. Nyeri dapat berkurang atau hilang.
4. Pasien memiliki cukup energi untuk beraktivitas.
5. Pasien akan menunjukkan tingkat mobilitas optimal

III. ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT
A. Pengkajian
Pengkajian yang dilakukan untuk menentukan masalah yang mengancam nyawa, harus mengkaji dengan cepat apa yang terjadi di lokasi kejadian. Paramedik mungkin harus melihat Apabila sudah ditemukan luka tikaman, luka trauma benda lainnya, maka harus segera ditangani, penilaian awal dilakuakan prosedur ABC jika ada indikasi, Jika korban tidak berespon, maka segera buka dan bersihkan jalan napas.
a. Airway
Muntah darah
b. Breathing
Nafas tersengal-sengal
c. Circulation
Pendarahan,syok,
B. Diagnosa dan Intervensi keperawatan
1. Defisit volume cairan dan elektrolit b/d perdarahan
Tujuan : terjadi keseimbangan cairan
Kriteria hasil : volume cairan terpenuhi,TTV dalam batas normal
Intervensi
a. Kaji TTV
b. Pantau cairan parenteral dan elektrolit,antibiotic dan vitamin
c. Kaji tetesan infuse
d. Kolaborasi pemberian cairan parenteral
e. Transfusi darah
2. Nyeri b/d Luka penitrasi abdomen
Tujuan : Nyeri teratasi
Kriteria Hasil : Nyeri berkuran / terkontrol,TTV dalam batas normal, ekspresi wajah rileks.
Intervensi :
a. Kaji karakteristik nyeri
b. Memberikan posisi yang nyaman
c. Ajarkan teknik relaksasi
d. Kolaborasi pemberian obat











BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Luka tusuk merupakan bagian dari trauma tajam yang mana luka tusuk masuk ke dalam jaringan tubuh dengan luka sayatan yang sering sangat kecil pada kulit, misalnya luka tusuk pisau.
Tanda dan gejala luka tusuk abdomen terdiri dari dua yaitu adanya Trauma tembus (trauma perut dengan penetrasi kedalam rongga peritonium) :Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ, respon stres simpatis, Perdarahan dan pembekuan darah,Kontaminasi bakteri danKematian sel. Kemudian adanya Trauma tumpul (trauma perut tanpa penetrasi kedalam rongga peritonium) berupa Kehilangan darah, memar/jejas pada dinding perut, Kerusakan organ-organ, nyeri tekan, nyeri ketok, nyeri lepas dan kekakuan (rigidity) dinding perut dan Iritasi cairan usus .
Adapun pengkajian yang terpenting untuk asuhan kegawat daruratan adalah Airway : Muntah darah; Breathing: Nafas tersengal-sengal dan Circulation :Pendarahan,syok.
B. Saran
Untuk memudahkan pemberian tindakan keperawatan dalam keadaan darurat secara cepat dan tepat, mungkin perlu dilakukan prosedur tetap/protokol yang dapat digunakan setiap hari. Bila memungkinkan , sangat tepat apabila pada setiap unit keperawatan di lengkapi dengan buku-buku yang di perlukan baik untuk perawat maupun untuk klien.





DAFTAR PUSTAKA

Brooker, Christine. 2001. Kamus Saku Keperawatan Ed.31. EGC : Jakarta.
Dorland, W. A. Newman. 2002. Kamus Kedokteran. EGC : Jakarta.
Sjamsuhidayat. 1997, Buku Ajar Bedah, EC, Jakarta.
Doenges. 2000, Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk perencanaan dan Pendokumentasian perawatan pasien, Edisi 3, EGC, Jakarta.
Carpenito, 1998 Buku saku: Diagnosa Keperawatan Aplikasi Pada Praktek Klinis, Edisi 6, EGC ; Jakarta.
Mansjoer,Arif. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1.UI : Media

Untuk lebih jelas, KLIK »»  

ALLERGI MAKANAN PADA ANAK

ALLERGI  MAKANAN PADA ANAK
KONSEP TEORITIS
  1. Pengertian.
Alergi adalah : Suatu golongan penyakit yang disebabkan oleh reaksi tubuh yang menyimpang  terhadap suatu zat tertentu

Adalah suatu keadaan dimana terjadi hyper sensitivitas terhadap jenis makanan tertentu karena  adversi berhubungan dengan reaksi allergi type I ( Ig.E mediated )
Ada beberapa hal yang dapat menyebabkan timbulnya reaksi alergi, diantaranya adalah :
  • Bakat atau keturunan
  • Faktor pencetus (Udara dingin / stress)
  • Faktor Luar : Hirupan (debu rumah tangga), Makanan

 B. Patogenesis.
Hingga sekarang patogenesis allergi makanan masih belum jelas. Mekenisme tersebut di bawah ini mungkin dapat menggambarkan patogenesis allergi makanan, sbb :
              S – Ig.A ( mukosa atau kolostrum )               TIDAK ADA 
Makanan                                                                             PENYAKIT
            Degradasi enzimatik.  
                                                                                                                                                                                                            
                   A            B              C             D             E                
                                                 Bahan makanan esensial 
          Gambar 1. Degradasi enzimatik makanan pada orang normal

Dalam keadaan normal, sesudah makanan masuk dalam saluran pencernaan,         akan terjadi prose penghancuran secara mekanis, secara enzimatik,detoksifikasi,
pengangkutan hasil akhir metabolisme dan asimilasi dari bahan makanan yang essensial seperti asam amino menjadi protein.

  Bentuk metabolisme terakhir adalah E, yang dalam keadaan normal dapat diterima oleh sel sehingga tidak terjadi reaksi adversi
Dalam tractus gastrointestinal terdapat S-IgA (secretory IgA ) yang akan  mencegah absorbsi antigen dalam makanan, sehingga tidak terjadi allergi makanan.
           
Pada orang dewasa atau bayi dengan devisiensi IgA akan terjadi absorbsi makromolekul  protein makanan yang dapat menimbulkan allergi makanan. Demikian pula bila terjadi  gangguan pada degradasi enzimatik, sehingga makanan hanya sebagian didegradasi, hasil  akhir yang ada dapat bersifat antigenik   

                          

C .Manifestasi klinik.
Gejala yang paling sering timbul yaitu berkaitan dengan organ saluran pencernaan, kulit dan saluran pernapasan. Umumnya manifestasi klinis timbul dalam 2 jam sesuda makan makanan yang menimbulkan allergi.
Gejala saluran cerna dimulai dari mulut berupa udema dan gatal-gatal (pruritus) pada bibir, selaput lendir mulut, langit-langit mulut dan farings, dimana makanan pertama kali berkontak. Bila makanan sampai ke usus, timbul gejala mual, muntah, perut kejang, kembung dan diare.
Gejala pada kulit berbentuk urtikaria akut, angioudema  sedang urtikaria kronik jarang disebabkan oleh alergi makanan.
Gejala pada saluran pernapasan antara lain : asma bronkhial dan lebih sering dijumpai pada anak-anak. Mungkin pula terjadi anafilaksis sistemik yang timbul beberapa menit sesudah makan makanan tertentu. Gejala anafilaksis sistemik bisa berupa ; urtikaria, angioedema, sesak napas, sianosis, sakit dada, hipotensi atau rejatan, gejala-gejala hidung, mata(konyungtival ), mual, muntah dan diare.

D.   Diagnostik

1.  Anamnese :
- Ditanyakan tentang reaksi yang dicurigai yang disebabkan oleh makanan

- Perlu ditanyakan pula tentang adanya penyakit atopik seperti : dermatitis atopik, asma bronkhial, rinitis alergi. Juga ditanyakan tentang penyakit yang lalu, seperti : urtikaria atau angioedema yang disebabkan oleh alergi.
2.  Pemeriksaan fisik :
- Diperlukan untuk mengetahui keadaan umum penderita, seperti : keadaan kulit, hidung, paru dan perut.
 3.  Diet Eliminasi :
 4. Tes Kulit.
 5. RAST  ( Radio Alergo Sorbent Test )
 6. Tes Provokasi makanan.
Pengobatan dan pencegahan.
1.    Penghindaran makanan yang menyebabkan alergi ( Avoidance )
2.    Diet eliminasi
3.    Pengobatan farmakologik
-          pengobatab symtomatik
-          Pengobatan profilaktik ( Anti histamin, krrtomolin dan ketotifen

Daftar pustaka .
1.      Suparman, Ilmu penyakit dalam Jilid II. Balai penerbit FKUI. Jakarta. 1990
2.      Bahna SL : Management of food allergies.Annals of allergi,1984

Untuk lebih jelas, KLIK »»  

AKUT RESPIRATORY DISTRESS SINDROME

AKUT RESPIRATORY DISTRESS SINDROME
       Kegawatan pernafasan ( Respiratory Distress syndrome ) pada anak merupakan penyebab utama kematian pada bayi baru lahir, diperkirakan 30% dari semua kematian neonatus disebabkan oleh penyakit ini atau komplikasinya. Penyakit ini terjadi pada bayi prematur, insidennya berbanding terbalik dengan umur kehamilan dan berat badannya. 60-80% terjadi pada bayi yang umur kehamilannya kurang dari 28 minggu,  15-30% pada bayi antara 32-36 minggu, sekitar 3% pada bayi yang lebih dari 37 minggu.
              Tingginya angka kejadian tersebut merupakan tantangan tersendiri bagi para tenaga kesehatan, mahasiswa S1 keperawatan yang merupakan calon tenaga kesehatan profesional, yang nantinya akan selalu berhubungan dengan penderita atau anak dengan resiko menderita RDS, harus mempunyai pengetahuan dan ketrampilan dalam mencegah dan membantu mengatasi tersebut dan dapat dipertanggungjawabkan pada pasien dan tim kesehatan lain.

A.            PENGERTIAN

               Respiratory Distress Syndrome ( RDS ) adalah perkembangan yang immatur pada sistem pernafasan atau tidak adekuatnya jumlah surfaktan dalam paru. RDS dikatakan sebagai hyaline membran disease ( HMD ).
 (Suriadi, 2001).

B.            ETIOLOGI

               Dihubungkan dengan usia kehamilan, semakin muda seorang bayi, semakin tinggi Resiko RDS sehingga menjadikan perkembangan yang immatur pada sistem pernafasan atau tidak adekuatnya jumlah surfaktan dalam paru.
RDS terdapat dua kali lebih banyak pada laki-laki daripada  perempuan, insidens meningkat pada bayi dengan faktor –faktor tertentu, misalnya: ibu diabetes yang melahirkan bayi kurang dari 38 minggu, hipoksia perinatal, lahir melalui seksio sesaria.

C.           PATHOFISIOLOGI

               Pada bayi dengan RDS, dimana tidak  adanya kemampuan paru untuk mengembang dan alveoli terbuka. RDS pada bayi yang belum matur menyebabkan gagal pernafasan karena immaturnya dinding dada, parenchim paru, dan immaturnya endotellium kapiler yang menyebabkan kolaps paru pada akhir ekspirasi.

Pada kasus yang terjadi akibat tidak adanya atau kurangnya, atau berubahnya komponen surfaktan pulmoner. Surfaktan suatu kompleks lipoprotein, adalah bagian dari permukaan mirip film yang ada di alveoli, untuk mencegahnya kolapsnya alveolus tersebut. surfaktan dihasilkan oleh sel-sel pernafasan tipe II di alveoli. Bila surfakatan tersebut tidak adekuat, akan terjadi kolaps alveolus dan mengakibatkan hipoksia dan retensi CO2 mengakibatkan asidosis Kemudian terjadi konstriksi vaskuler pulmoner dan penurunan perfusi pilmoner, yang berakhir sebagai gagal nafas progresif, terjadi hipoksemia progresif yang dapat menyebabkan kematian. ( Nelson,2000).

D.           MANIFESTASI KLINIK

1.         Takipneu
2.         Retraksi interkostal dan sternal
3.         Pernafasan cuping hidung
4.         Sianosis sejalan dengan hipoksemia
5.         Menurunya daya compliance paru (nafas ungkang- ungkit  paradoksal )
6.         Hipotensi sistemik (pucat perifer, edema, pengisian kapiler tertunda lebih dari 3 sampai 4 detik )
7.         Penurunan keluaran urine
8.         Penurunan suara nafas dengan ronkhi
9.         Takhikardi pada saat terjadinya asidosis dan hipoksemia.

E.            PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

1.         Foto thoraks
a.       Pola retikulogranular difus bersama bronkhogram udara yang saling tumpah tindih.
b.      Tanda paru sentral batas jantung sukar dilihat, inflasi paru buruk.
c.       Kemungkinan terdapat kardiomegali bila sistem lain juga terkena (bayi dari ibu diabetes, hipoksia, gagal jantung kongestif )
d.      Bayangan timus yang besar.
e.       Bergranul merata pada bronkhogram udara, yang menandakan penyakit berat jika terdapat pada beberapa jam pertama.
2.         Gas Darah Arteri menunjukan asidosis respiratory dan metabolik yaitu adanya penurunan pH, penurunan PaO2, dan peningkatan paCO2, penurunan HCO3.
3.         Hitung darah lengkap,
4.         Perubahan Elektrolit, cenderung terjadi penurunan kadar: kalsium, natrium, kalium dan glukosa serum

F.            KOMPLIKASI

1.    Pneumothorak
2.    Pneumomediastinum
3.    Hipotensi
4.    Menurunya pengeluaran urine
5.    Asidosis
6.    Hiponatremi
7.    Hipernatremi
8.    Hipokalemi
9.    Disseminated intravaskuler coagulation ( DIC )
10.     Kejang
11.     Intraventricular hemorhagi
12.     Infeksi sekunder.
13.     murmur

G.           ASIDOSIS

 merupakan  suatu kondisi terjadinya pelepasan ion Hidrogen ( H+ ) yang berlebihan dalam darah sehingga terjadi penurunan pH darah dalam tubuh.
pH darah dalam tubuh mempunyai nilai normal : 7,38-7,42 dengan pemeriksaan AGD ( analisa gas darah ).  bila kurang dari nilai normal disebut dinamakan asidosis, sedangkan bila lebih dari normal disebut alkalosis. Berat ringannya tergantung tinggi rendahnya rentang perubahanya.
Kolaps paru pada kasus RDS dapat menyebabkan asidosis karena terganggunya ventilasi sehingga  terjadi hipoksia dan Retensi CO2. oksigenasi jaringan menurun sehingga terjadi metabolisme anaerobik yang menimbulkan asam laktat dan asam organik lain yang menyebabkan terjadinya asidosis metabolik.

H.           PENATALAKSANAAN

1.      Memberikan lingkungan yang  optimal.Suhu tubuh harus selalu diusahakan agar tetap dalam batas normal ( 36,50-370C )  dengan cara meletakkan bayi dalam inkubator. Kelembapan ruangan juga harus adekuat ( 70-80%)
2.      Pemberian oksigen .
Pemberian oksigen harus hati-hati karena berpengaruh kompleks terhadap bayi prematur. Untuk mencegah timbulnya komplikasi tersebut pemberian O2 sebaiknya diikuti dengan pemeriksaan analisa gas darah.
Rumatan PaO2 antara 50-80mmHg dan PaCO2 antara 40 dan 50 mmHg, dengan rumatan O2 2L.
3.      Pemberian cairan dan elektrolit.
Pada permulaan diberikan glukose 5-10% 60-125 ml/kgBB/hari. Asidosis yang selalu dijumpai
Harus segera dikoreksi dengan NaHCO3 secara intravena, dengan rumus pemberian : NaHCO3( mEq ) =Defisit basa X 0.3 X BB bayi.
4.    Pemberian antibiotik, untuk mnecegah infeksi sekunder. Dapat diberikan penissilin dengan  dosis  50000-100000 U/kgBB/hari dengan atau tanpa gentamicin3-5/kgBB/hari.
5.    Kemajuan terakhir dalam pengobatan pasien PMH adalah pemberian surfaktan eksogen melalui endotrakheal tube. Obat ini sangat efektif.






















DAFTAR PUSTAKA

Cecily. L Betz. 2002. Keperawatan Pediatrik. Edisi 3. Jakarta. EGC
Nelson. E Waldo. 2000. Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 15. Jilid I.Jakarta. EGC
Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak Sakit. Jakarta. EGC
Suriadi. 2001. Asuhan Keperawatan Pada Anak. Edisi I.Jakarta. CV Agung Seto.




Untuk lebih jelas, KLIK »»