Jumat, 28 Juni 2013

Pengertian Metode Penelitian

Metode penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan  data dengan tujuan  dan kegunaan tertentu. Berdasarkan hal tersebut terdapat empat kata kunci yang perlu diperhatikan yaitu, cara ilmiah, data, tujuan, dan kegunaan. Cara Ilmiah berarti kegiatan penelitian itu didasarkan pada ciri-ciri keilmuan, yaitu rasional, empiris, dan sistematis. Rasional berarti kegiatan penelitian itu dilakukan dengan cara-cara yang masuk akal, sehingga terjangkau oleh penalaran manusia. Empiris berarti cara-cara yang dilakukan itu dapat diamati oleh indera manusia, sehingga orang lain dapat mengamati dan mengetahui cara-cara yang dilakukan. (Bedakan cara yang tidak ilmiah, Misalnya mencari uang yang hilang, atau profokator, atau tahanan yang melarikan diri melalui paranormal). Sistematis artinya, proses yang digunakan dalam penelitian itu menggunakan langkah-langkah tertentu yang bersifat logis.

Data yang diperoleh melalui penelitian itu adalah data empiris (Teramati) yang mempunyai kriteria tertentu yaitu Valid. Valid menunjukkan derajad ketepatan antara data yang sesungguhnya terjadi pada obyek dengan data yang dapat dikumpulkan oleh peneliti. Misalnya dalam masyarakat tertentu dapat 5000 Orang miskin, sementara peneliti melaporkan jauh di bawah atau di atas 5000 Orang miskin, Maka derajad validitas hasil penelitian itu rendah atau misalnya dalam suatu unit kerja pemerintahan, dimana dalam unit kerja tersebut iklim kerjanya sangat bagus, sementara peneliti melaporkan iklim kerjanya tidak bagus, maka data yang dilaporkan tersebut juga tidak valid. Untuk mendapatkan data yang langsung valid dalam penelitian sering sulit dilakukan. Oleh karena itu data yang telah terkumpul sebelum diketahui validitasnya, dapat diuji melalui pengujian  reliabilitas dan Obyektifitas. Pada  umumnya kalau data itu reliabel dan obyektif, maka terdapat kecenderungan data tersebut akan valid.



Untuk lebih jelas, KLIK »»  

RESUSITASI BAYI BARU LAHIR



Untuk lebih jelas, KLIK »»  

DEFENISI KELUARGA

Defenisi Keluarga 

  • Friedman (1998) mendefinisikan bahwa keluarga adalah kumpulan dua orang atau lebih yang hidup bersama dengan keterikatan aturan dan emosional dan dan individu mempunyai peran masing-masing yang merupakan bagian dari keluarga
  • Pakar konseling keluarga dari Yogyakrta, Sayekti (1994) menuliskan bahwa keluarga adalah suatu ikatan/persekutuan hidup atas dasar perkawinan antara orang dewasa yang berlainan jenis yang hidup bersama atau  seorang laki-laki atau seorang perempuan yang sudah sendirian dengan atau tanpa anak, baik anaknya sendiri atau adopsi dan tinggal dalam sebuah rumah tangga.
  • Menurut UU No. 10 tahun 1992 tentang perkembangan kependudukan  dan pembangunan keluarga sejahtera, keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari suami-istri, atau suami-istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya
Ketiga pengertian tersebut mempunyai persamaan bahwa dalam keluarga terdapat ikatan perkawinan dan hubungan darah yang tinggal bersama dalam satu atap (Serumah) dengan peran masing-masing serta keterikatan emosional.

Indonesia merupakan salah satu negara yang menjunjung tinggi  adat ketimuran yang menekankan bahwa keluarga harus dibentuk atas dasar perkawinan, seperti tertulis  dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.. 21 Tahun 1994 bahwa keluarga dibentuk berdasarkan atas  perkawinan yang sah.
Untuk lebih jelas, KLIK »»  

Rabu, 19 Juni 2013

Menkes: Ada Dua Masalah Keperawatan Saat Ini


[JAKARTA] Menteri Kesehatan (Menkes) RI,  Nafsiah Mboi mengatakan, ada dua masalah yang masih terjadi di dunia keperawatan Indonesia saat ini, yakni terkait distribusi dan pengabdian perawat.

"Jumlah perawat kita saat ini 220.575 jiwa dan berdasarkan rasio WHO jumlah tersebut sudah mencukupi. Namun, ada dua masalah, yaitu terkait distribusi dan pengabdian perawat," katanya di Jakarta, Jumat (8/3).


Dia mengatakan, dari sisi distribusi, saat ini masih banyak perawat yang lebih suka tinggal dan bekerja di kota besar, sehingga keberadaan perawat di desa terpencil minim.

"Perawat tidak mau bekerja di daerah terpencil. Apalagi kalau perawat itu pendidikannya tinggi, dia tidak mau lagi mengurusi pekerjaan yang istilahnya kotor, mereka maunya bekerja di manajemen keperawatan. Ini tentu pasti ada masalah," kata dia.

Sementara itu di sisi pengabdian, menurut dia, perawat masih harus meningkatkan pelayanan dan pengabdiannya dengan kinerja yang profesional. Caranya dengan selalu berupaya meningkatkan jenjang pendidikannya ke tingkat lebih tinggi.

Dia mengharapkan seluruh pihak terkait, terutama instansi pendidikan untuk bisa memberikan kesempatan bagi perawat, khususnya di daerah untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, kepribadian dan tata cara melayani pasien.

Sebab, menurut Nafsiah, masih ada keluhan dari masyarakat di sejumlah tempat terkait buruknya pelayanan dari perawat puskesmas.

"Masyarakat sekarang kritis, saya pernah menerima SMS aduan dari masyarakat bahwa perawat di sebuah puskesmas jahat. Saya kaget juga kok menteri sampai mengurusi hal seperti ini, tapi memang begini lah fakta yang harus kita benahi bersama," ujar dia.

Pada bagian lain dia meminta perawat dapat bekerja dengan profesional, melayani dengan kasih sayang, dan memegang teguh etika profesi. Hal tersebut menurutnya sangat penting sebab pada tahun 2015 akan diberlakukan Masyarakat ASEAN, di mana pada masa itu akan banyak tenaga kerja asing yang masuk ke Indonesia, tidak terkecuali perawat.

"Pada 2015 akan diberlakukan Masyarakat ASEAN saya tidak bisa menghalau perawat asing untuk masuk ke Indonesia. Makanya kalau mutu perawat kita tidak becus, maka kita akan kalah bersaing," ujarnya.

Di sisi lain Nafsiah mengaku tetap mengapresiasi perkembangan dunia keperawatan saat ini yang sudah mampu menghasilkan perawat dengan spesialisasi tertentu misalnya spesialis anak, bedah, kanker, lansia dan cacat.

"Ini cukup membanggakan walaupun masih ada yang tidak mau mengambil spesialisasi tertentu seperti itu. Di dunia internasional dunia keperawatan kita juga sudah mulai dilirik misalnya oleh Jepang yang meminta agar perawat Indonesia datang ke Jepang untuk merawat para lansia di sana karena perawat Indonesia dikenal ramah dan sabar," kata dia. 

Untuk lebih jelas, KLIK »»  
LAPORAN PENDAHULUAN

ASKEP PADA KLIEN DENGAN CA NASOFARING



A.    Pengertian

Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang tumbuh di daerah nasofaring dengan predileksi di fossa Rossenmuller dan atap nasofaring.  Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang terbanyak ditemukan di Indonesia. (Efiaty & Nurbaiti, 2001)

B.    Etiologi
Insidens karsinoma nasofaring yang tinggi ini dihubungkan dengan kebiasaan makan, lingkungan dan virus Epstein-Barr (Sjamsuhidajat, 1997). Selain itu faktor geografis, rasial, jenis kelamin, genetik, pekerjaan, kebiasaan hidup, kebudayaan, sosial ekonomi, infeksi kuman atau parasit  juga sangat mempengaruhi kemungkinan timbulnya tumor ini. Tetapi sudah hampir dapat dipastikan bahwa penyebab karsinoma nasofaring adalah virus Epstein-barr, karena pada semua pasien nasofaring didapatkan titer anti-virus EEB yang cukup tinggi (Efiaty & Nurbaiti, 2001).

C.    Pathofisiologi / Pathways

Terlampir


D.    Tanda dan Gejala

Gejala karsinoma nasofaring dapat dikelompokkan menjadi 4 bagian, yaitu antara lain :
  1. Gejala nasofaring

  2. Gejala nasofaring dapat berupa epistaksis ringan atau sumbatan hidung.
2.       Gangguan pada telinga
Merupakan gejala dini karena tempat asal tumor dekat muara tuba Eustachius (fosa Rosenmuller). Gangguan yang timbul akibat sumbatan pada tuba eustachius seperti tinitus, tuli, rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri di telinga (otalgia)
3.                  Gangguan mata dan syaraf
Karena dekat dengan rongga tengkorak maka terjadi penjalaran melalui foramen laserum yang akan mengenai saraf otak ke III, IV, VI sehingga dijumpai diplopia, juling, eksoftalmus dan saraf ke V berupa gangguan motorik dan sensorik.
Karsinoma yang lanjut akan mengenai saraf otak ke IX, X, XI dan XII jika penjalaran melalui foramen jugulare yang sering disebut sindrom Jackson. Jika seluruh saraf otak terkena disebut sindrom unialteral.
4.       Metastasis ke kelenjar leher
Yaitu dalam bentuk benjolan medial terhadap muskulus sternokleidomastoid yang akhirnya membentuk massa besar hingga kulit mengkilat.

E.    Pemeriksaan Penunjang
1.        Pemeriksaan CT-Scan daerah kepala dan leher untuk mengetahui keberadaan tumor sehingga tumor primer yang tersembunyi pun akan ditemukan.
2.        Pemeriksaan Serologi IgA anti EA dan IgA anti VCA untuk mengetahui infeksi virus E-B.
3.        Untuk diagnosis pasti ditegakkan dengan Biopsi nasofaring dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dari hidung dan mulut. Dilakukan dengan anestesi topikal dengan Xylocain 10 %.
4.        Pengerokan dengan kuret daerah lateral nasofaring dalam narkosis.




F.     Penatalaksanaan Medis

1.        Radioterapi merupakan pengobatan utama
2.        Pengobatan tambahan yang diberikan dapat berupa diseksi leher ( benjolan di leher yang tidak menghilang pada penyinaran atau timbul kembali setelah penyinaran dan tumor induknya sudah hilang yang terlebih dulu diperiksa dengan radiologik dan serologik) , pemberian tetrasiklin, faktor transfer, interferon, kemoterapi, seroterapi, vaksin dan antivirus.
Pemberian ajuvan kemoterapi yaitu Cis-platinum, bleomycin dan 5-fluorouracil. Sedangkan kemoterapi praradiasi dengan epirubicin dan cis-platinum. Kombinasi kemo-radioterapi dengan mitomycin C dan 5-fluorouracil oral sebelum diberikan radiasi yang bersifat “RADIOSENSITIZER”.

G.   Pengkajian

1.        Faktor herediter atau riwayat kanker pada keluarga misal ibu atau nenek dengan riwayat kanker payudara

2.        Lingkungan yang berpengaruh seperti iritasi bahan kimia, asap sejenis kayu tertentu.

3.        Kebiasaan memasak dengan bahan atau bumbu masak tertentu dan kebiasaan makan makanan yang terlalu panas serta makanan yang diawetkan ( daging dan ikan).

4.        Golongan sosial ekonomi yang rendah juga akan menyangkut keadaan lingkungan dan kebiasaan hidup.

5.        Tanda dan gejala :

 Aktivitas

Kelemahan atau keletihan. Perubahan pada pola istirahat; adanya faktor-faktor yangmempengaruhi tidur seperti nyeri, ansietas.


 Sirkulasi

Akibat metastase tumor terdapat palpitasi, nyeri dada, penurunan tekanan darah, epistaksis/perdarahan hidung.

 Integritas ego

Faktor stres, masalah tentang perubahan penampilan, menyangkal diagnosis, perasaan tidak berdaya, kehilangan kontrol, depresi, menarik diri, marah.

 Eliminasi

Perubahan pola defekasi konstipasi atau diare, perubahan eliminasi urin, perubahan bising usus, distensi abdomen.

 Makanan/cairan

Kebiasaan diit buruk ( rendah serat, aditif, bahanpengawet), anoreksia, mual/muntah, mulut rasa kering, intoleransi makanan,perubahan berat badan, kakeksia, perubahan kelembaban/turgor kulit.

 Neurosensori

Sakit kepala, tinitus, tuli, diplopia, juling, eksoftalmus

 Nyeri/kenyamanan

Rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri telinga (otalgia), rasa kaku di daerah leher karena fibrosis jaringan akibat penyinaran

 Pernapasan

Merokok (tembakau, mariyuana, hidup dengan seseorang yang merokok), pemajanan

 Keamanan

Pemajanan pada kimia toksik, karsinogen, pemajanan matahari lama / berlebihan, demam, ruam kulit.

 Seksualitas

Masalah seksual misalnya dampak hubungan, perubahan pada tingkat kepuasan.

 Interaksi sosial

Ketidakadekuatan/kelemahan sistem pendukung

DAFTAR PUSTAKA



1.      Smeltzer Suzanne C. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Alih bahasa Agung Waluyo, dkk. Editor Monica Ester, dkk. Ed. 8. Jakarta : EGC; 2001.

2.      Doenges, Marilynn E. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk Perencanaan dan pendokumentasian Perawatan Pasien. Alih bahasa I Made Kariasa. Ed. 3. Jakarta : EGC;1999

3.      Efiaty Arsyad Soepardi & Nurbaiti Iskandar. Buku Ajar Ilmu Kesehatan : Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2001

4.      R. Sjamsuhidajat &Wim de jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi revisi. Jakarta : EGC ; 1997

5.   Purnaman S. Pandi.

















Untuk lebih jelas, KLIK »»  

ASKEP ANGIOFIBROMA NASOFARING BELIA

ANGIOFIBROMA

A.    PENGERTIAN
Angiofibroma nasofaring belia adalah sebuah tumor jinak nasofaring yang cenderung menimbulkan perdarahan yang sulit dihentikan dan terjadi pada laki-laki prepubertas dan remaja.
Angiofibroma nasofaring belia merupakan neoplasma vaskuler yang terjadi hanya ada laki-laki, biasanya selama masa prepubertas dan remaja
Umumnya terdapat pada rentang usia 7 s/d 21 tahun dengan insidens terbanyak antara usia 14-18 tahun dan jarang pada usia diatas 25 tahun.
Tumor ini merupakan tumor jinak nasofaring terbanyak dan 0,05% dari seluruh tumor kepala dan leher

B.     ETIOLOGI
Etiologi tumor ini masih belum jelas, berbagai jenis teori banyak diajukan. Diantaranya teori jaringan asal dan faktor ketidak-seimbangan hormonal.
Secara histopatologi tumor ini termasuk jinak tetapi secara klinis ganas karena bersifat ekspansif dan mempunyai kemampuan mendestruksi tulang. Tumor yang kaya pembuluh darah ini memperoleh aliran darah dari arteri faringealis asenden atau arteri maksilaris interna. Angiofibroma kaya dengan jaringan fibrosa yang timbul dari atap nasofaring atau bagian dalam dari fossa pterigoid. Setelah mengisi nasofaring, tumor ini meluas ke dalam sinus paranasal, rahang atas, pipi dan orbita serta dapat meluas ke intra kranial setelah mengerosi dasar tengkorak .

C.    TANDA DAN GEJALA
Gejala klinik terdiri dari hidung tersumbat (80-90%); merupakan gejala yang paling sering, diikuti epistaksis (45-60%); kebanyakan unilateral dan rekuren, nyeri kepala (25%); khususnya bila sudah meluas ke sinus paranasal, pembengkakan wajah (10-18%) dan gejala lain seperti anosmia, rhinolalia, deafness, pembengkakan palatum serta deformitas pipi. Tumor ini sangat sulit untuk di palpasi, palpasi harus sangat hati-hati karena sentuhan jari pada permukaan tumor dapat menimbulkan perdarahan yang ekstensif.

D.    PENEGAKAN DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang seperti x-foto polos, CT scan, angiografi atau MRI. Dijumpai tanda Holman-Miller pada pemeriksaan x-foto polos berupa lengkungan ke depan dari dinding posterior sinus maksila4. Biopsi tidak dianjurkan mengingat resiko perdarahan yang masif dan karena teknik pemeriksaan radiologi yang modern sekarang ini dapat menegakkan diagnosis dengan tingkat ketepatan yang tinggi.
Tumor ini dapat didiagnosis banding dengan polip koana, adenoid hipertrofi, dan lain-lain.

E.     PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan tumor ini adalah dengan pembedahan; dimana 6-24% rekuren, stereotactic radioterapi; digunakan jika ada perluasan ke intrakranial atau pada kasus-kasus yang rekuren.
Penatalaksanaan tumor ini adalah dengan pembedahan yang sering didahului oleh embolisasi intra-arterial 24-48 jam preoperatif yang berguna untuk mengurangi perdarahan selama operasi2,4,5. Material yang digunakan untuk embolisasi ini terdiri dari mikropartikel reabsorpsi seperti Gelfoam, Polyvinyl alcohol atau mikropartikel nonabsorpsi seperti Ivalon dan Terbal. Penggunaan embolisasi ini tergantung pada ahli bedah masing-masing.

F.     KOMPLIKASI
Komplikasi yang timbul dapat berupa perdarahan yang berlebihan dan transformasi maligna.



G.    STADIUM ANGIOFIBROMA
Untuk menentukan perluasan tumor, dibuat sistem staging. Ada 2 sistem yang paling sering digunakan yaitu Sessions dan Fisch.
Klasifikasi menurut Sessions sebagai erikut :
1.      Stage IA          : Tumor terbatas pada nares posterior dan/atau nasofaring
2.      Stage IB          : Tumor melibatkan nares posterior dan/atau nasofaring dengan perluasan ke satu sinus paranasal.
3.      Stage IIA        : Perluasan lateral minimal ke dalam fossa pterygomaksila.
4.      Stage IIB        : Mengisi seluruh fossa pterygomaksila dengan atau tanpa erosi ke tulang orbita.
5.      Stage IIIA       : Mengerosi dasar tengkorak; perluasan intrakranial yang minimal.
6.      Stage IIIB       : Perluasan ke intrakranial dengan atau tanpa perluasan ke dalam sinus kavernosus.

Klasifikasi menurut Fisch :
  1. Stage I             : Tumor terbatas pada kavum nasi, nasofaring tanpa destruksi tulang.
  2. Stage II           :Tumor menginvasi fossa pterygomaksila, sinus paranasal dengan destruksi tulang.
  3. Stage III          :Tumor menginvasi fossa infra temporal, orbita dan/atau daerah parasellar sampai sinus kavernosus.
  4. Stage IV          : Tumor menginvasi sinus kavernosus, chiasma optikum dan/atau fossa pituitary.







H.    PENGKAJIAN

a.        Faktor herediter atau riwayat kanker pada keluarga misal ibu atau nenek dengan riwayat kanker payudara

b.        Lingkungan yang berpengaruh seperti iritasi bahan kimia, asap sejenis kayu tertentu.

c.        Kebiasaan memasak dengan bahan atau bumbu masak tertentu dan kebiasaan makan makanan yang terlalu panas serta makanan yang diawetkan ( daging dan ikan).


d.       Golongan sosial ekonomi yang rendah juga akan menyangkut keadaan lingkungan dan kebiasaan hidup. (Efiaty & Nurbaiti, 2001 hal 146)


e.        Tanda dan gejala :

v  Aktivitas

Kelemahan atau keletihan. Perubahan pada pola istirahat; adanya faktor-faktor yang mempengaruhi tidur seperti nyeri, ansietas.


v  Sirkulasi

Akibat metastase tumor terdapat palpitasi, nyeri dada, penurunan tekanan darah, epistaksis/perdarahan hidung.


v  Integritas ego

Faktor stres, masalah tentang perubahan penampilan, menyangkal diagnosis, perasaan tidak berdaya, kehilangan kontrol, depresi, menarik diri, marah.


v  Eliminasi

Perubahan pola defekasi konstipasi atau diare, perubahan eliminasi urin, perubahan bising usus, distensi abdomen.

v  Makanan/cairan

Kebiasaan diit buruk ( rendah serat, aditif, bahanpengawet), anoreksia, mual/muntah, mulut rasa kering, intoleransi makanan,perubahan berat badan, kakeksia, perubahan kelembaban/turgor kulit.


v  Neurosensori

Sakit kepala, tinitus, tuli, diplopia, juling, eksoftalmus

v  Nyeri/kenyamanan

Rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri telinga (otalgia), rasa kaku di daerah leher karena fibrosis jaringan

v  Pernapasan

Merokok (tembakau, mariyuana, hidup dengan seseorang yang merokok)

v  Keamanan

Pemajanan pada kimia toksik, karsinogen, pemajanan matahari lama / berlebihan, demam, ruam kulit.

v  Interaksi sosial

Ketidakadekuatan/kelemahan sistem pendukung
                 (Doenges, 2000)


H.  Diagnosa Keperawatan dan Intervensi

Nyeri berhubungan dengan kompresi/destruksi karingan saraf

Tujuan : rasa nyeri teratasi atau terkontrol
Kriteria hasil : mendemonstrasikan penggunaan ketrampilan relaksasi nyeri .
Intervensi :
S  Tentukan riwayat nyeri misalnya lokasi, frekuensi, durasi
S  Berikan tindakan kenyamanan dasar (reposisi, gosok punggung) dan aktivitas hiburan.
S  Dorong penggunaan ketrampilan manajemen nyeri (teknik relaksasi, visualisasi, bimbingan imajinasi) musik, sentuhan terapeutik.
S  Evaluasi penghilangan nyeri atau kontrol
S  Kolaborasi : berikan analgesik sesuai indikasi misalnya Morfin, metadon atau campuran narkotik.

2. Gangguan sensori persepsi berubungan dengan gangguan status organ sekunder
Tujuan : mampu beradaptasi terhadap perubahan sensori pesepsi
Kriteria hasil : mengenal gangguan dan berkompensasi terhadap perubahan
Intervensi :
S  Tentukan ketajaman penglihatan, apakah satu atau dua mata terlibat.
S  Orientasikan pasien terhadap lingkungan
S  Observasi tanda-tanda dan gejala disorientasi
S  Perhatikan tentang suram atau penglihatan kabur
S  Bicara dengan gerak mulut yang jelas
S  Bicara pada sisi telinga yang sehat

3. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia,   mual muntah sekunder
Tujuan : kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi.
Kriteria hasil :
§  Melaporkan penurunan mual dan insidens muntah
§  Mengkonsumsi makanan dan cairan yang adekuat
§  Menunjukkan turgor kulit normal dan membran mukosa yang lembab
§  Melaporkan tidak adanya penurunan berat badan tambahan
     Intervensi :
S  Sesuaikan diet sebelum dan sesudah pemberian obat sesuai dengan kesukaan dan toleransi pasien
S  Berikan dorongan higiene oral yang sering
S  Berikan antiemetik, sedatif dan kortikosteroid yang diresepkan
S  Pastikan hidrasi cairan yang adekuat sebelum, selama dan setelah pemberian obat, kaji masukan dan haluaran.
S  Pantau masukan makanan tiap hari.
S  Ukur TB, BB dan ketebalan kulit trisep (pengukuran antropometri)
S  Dorong pasien untuk makan diet tinggi kalori, kaya nutrien dengan masukan cairan adekuat.
S  Kontrol faktor lingkungan (bau dan panadangan yang tidak sedap dan kebisingan)

4. Resiko infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan pertahanan sekunder imunosupresi
Tujuan : tidak terjadi infeksi
Kriteria hasil :
§  Menunjukkan suhu normal dan tanda-tanda vital normal
§  Tidak menunjukkan tanda-tanda inflamasi : edema setempat, eritema, nyeri.
§  Menunjukkan bunyi nafas normal, melakukan nafas dalam untuk menegah disfungsi dan infeksi respiratori
Intervensi :
S  Kaji pasienterhadap bukti adanya infeksi :
S  Periksa tanda vital, pantau jumlah SDP, tempat masuknya patogen, demam, menggigil, perubahan respiratori atau status mental, frekuensi berkemih atau rasa perih saat berkemih
S  Tingkatkan prosedur cuci tangan yang baik pada staf dan pengunjung, batasi pengunjung yang mengalami infeksi.
S  Tekankan higiene personal
S  Pantau suhu
S  Kaji semua sistem (pernafasan, kulit, genitourinaria)

9. Resiko terhadap perdarahan berhubungan dengan gangguan sistem hematopoetik
Tujuan : perdarahan dapat teratasi
Kriteria hasil :
§  Tanda dan gejala perdarahan teridentifikasi
§  Tidak menunjukkan adanya epistaksis
Intervensi :
S  Kaji terhadap potensial perdarahan : pantau jumlah trombosit
S  Kaji terhadap perdarahan : epsitaksis
S  Instruksikan cara-cara meminimalkan perdarahan : minimalkan penekanan/ gesekan pada hidung


Kepustakaan

1.      Averdi R, Umar SD. Angiofibroma Nasofaring Belia. Dalam : Efiaty AS, Nurbaiti I.
2.      Buku ajar ilmu kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi ke 5, Jakarta : Balai Penerbit FK UI, 2001. 151-2.
3.      Tewfik TL. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. Available from URL : http://www.emedicine.com/ent/topic470.htm
4.      Adams GL, et al. Boies – Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1997.
5.       Sadeghi N. Sinonasal Papillomas, Treatment. Available from URL : http://www.emedicine.com/ent/topic529.htm
6.      Doenges, Marilynn E. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk Perencanaan dan pendokumentasian Perawatan Pasien. Alih bahasa I Made Kariasa. Ed. 3. Jakarta : EGC;1999
7.      Efiaty Arsyad Soepardi & Nurbaiti Iskandar. Buku Ajar Ilmu Kesehatan : Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2001
8.      R. Sjamsuhidajat &Wim de jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi revisi. Jakarta : EGC ; 1997
4.   Smeltzer Suzanne C. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Alih bahasa Agung Waluyo, dkk. Editor Monica Ester, dkk. Ed. 8. Jakarta : EGC; 2001




Untuk lebih jelas, KLIK »»  

Senin, 17 Juni 2013

Pencegahan Primer dalam Pelayanan Kesehatan

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Deklarasi Alma Ata 1978 merupakan bentuk kesepakatan bersama antara 140 negara (termasuk Indonesia), adalah merupakan hasil Konferensi Internasional Pelayanan Kesehatan Primer (Primary Health Care) di kota Alma Ata, Kazakhstan..
Isi pokok deklarasi ini, bahwa Pelayanan Kesehatan Primer (Dasar) adalah merupakan strategi utama untuk pencapaian kesehatan untuk semua (Health for all), sebagai bentuk perwujudan hak asazi manusia.
Deklarasi Alma Ata ini selanjutnya terkenal dengan : Kesehatan semua untuk tahun 2000 atau 'Health for all by the year 2000".  Deklarasi Alma Ata juga menyebutkan bahwa untuk mencapai kesehatan untuk semua tahun 2000 adalah melalui Pelayanan Kesehatan Dasar, yang sekurang-kurangnya mencakup 8 pelayanan dasar, yaitu :
      1.            Pendidikan kesehatan .
      2.            Peningkatan penyediaan makanan dan gizi.
      3.            Penyediaan air bersih dan sanitasi dasar .
      4.            Pelayanan kesehatan ibu dan anak termasuk keluarga berencana.
      5.            Imunisasi .
      6.            Pencegahan dan pemberantasan penyakit endemi          
      7.            Pengobatan penyakit-penyakit umum .
      8.            Penyediaan obat esensial .
Dari 8 pelayanan kesehatan dasar tersebut diatas, pendidikan kesehatan (sekarang promosi kesehatan) ditempatkan pada urutan pertama. Ini berarti bahwa sejak Konferensi Alma Ata tahun 1978, para delegasi 140 negara tersebut telah mengakui pentingnya peran promosi kesehatan dalam mencapai kesehatan untuk semua.
B.     Rumusan Masalah
Agar Pembahasan dari makalah ini tidak melebar dan pembahasannya tetap berkonsentrasi pada satu bahan judul maka kami dari pemakalah perlu menetapkan rumusan masalah yang akan di bahas :
1.      Definisi Pencegahan primer
2.      Contoh pencegahan primer dalam keperawatan keluarga
3.      Hubungan Pencegahan primer dalam keperawatan keluarga
A.    Tujuan Penulisan
1.      Mampu memahami tentang Definisi Pencegahan primer
2.      Mampu memahami Contoh pencegahan primer dalam keperawatan keluarga
3.      Mampu Memahami tentang Hubungan Pencegahan primer dalam keperawatan keluarga
B.     Manfaat  Penulisan
1.      Mahasiswa Mampu memahami tentang Definisi Pencegahan primer
2.      Mahasiswa Mampu memahami Contoh pencegahan primer dalam keperawatan keluarga
3.      Mahasiswa Mampu Memahami tentang Hubungan Pencegahan primer dalam keperawatan keluarga
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Defenisi pencegahan primer
Terjadi sebelum sistem bereaksi terhadap stressor, meliputi : promosi kesehatan dan mempertahankan kesehatan. Pencegahan primer mengutamakan pada penguatan flexible lines of defense dengan cara mencegah stress dan mengurangi faktor-faktor resiko. Intervensi dilakukan jika resiko atau masalah sudah diidentifikasi tapi sebelum reaksi terjadi. Strateginya mencakup : immunisasi, pendidikan kesehatan, olah raga dan perubahan gaya hidup.
Pencegahan primer adalah peningkatan kesehatan dan perlindungan umum dan khusus terhadap penyakit-penyakit tertentu adalah usaha-usaha yang dilakukan sebelum sakit (pre pathogenesis), dan disebut dengan pencegahan primer.
Pencegahan primer dilakukan pada masa individu yang belum menderita sakit. Pencegahan primer terdiri dari promosi kesehatan (health promotion) dan perlindungan khusus (spesifiic protection).
1.      Promosi Kesehatan
Health promotion bertujuan untuk meningkatkan, memajukan dan membina koordinasi sehat yang sudah ada hingga dipertahankan dan dijauhkan dari ancaman penyebab penyakit atau agent secara umum.
Pendidikan kesehatan yang diperlukan antara lain : Meningkatnya gizi, Perbaikan sanitasi lingkungan, Ph(derajat keasaman), Pendidikan sifat umum, Nasihat perkawinan, Penyuluhan kehidupan sex, Olahraga dan kebugaran jasmani, Pemeriksaan secara berkala, Meningkatnya standar hidup dan kesejahteraan keluarga, Nasihat tentang keturunan, Penyuluhan tentang PMS, Penyuluhan AIDS.
a.       Meningkatkan dan memperbaiki program kesehatan ibu :
a)      Layanan dan terdesentralisasi
b)      Menyusun standar pelayanan dan pastikan adanya supervise
c)      Mengembangkan dan menggunakan panduan tetap untuk manajemen komplikasi kebidanan
d)     Memperbaiki sistem pelatihan dan memperbaharui keterampilan penyediaan pelayanan
b.      Ruang lingkup promosi kesehatan :
a)      Pendidikan Kesehatan (Health education)
b)      Pemasaran sosial (sosial marketing)
c)      Penyuluhan
d)     Upaya peningkatan (Promotif)
e)      Advokasi di bidang kesehatan
f)       Pengorganisasian, pengembangan, pergerakan, pemberdayaan masyarakat.
c.       Ruang lingkup promosi kesehatan berdasarkan tatanan pelaksanaan :
a)      Promosi kesehatan tatanan keluarga
b)      Pendidikan kesehatan pada tatanan sekolah
c)      Pendidikan kesehatan di tempat kerja
d)     Pendidikan kesehatan di tempat-tempat umum
e)      Pendidikan kesehatan pada fasilitas pelayanan kesehatan
d.      Tujuan promosi kesehatan meliputi :
a)      Membangun kebijakan masyarakat sehat
b)      Membangun keterampilan personal
c)      Memperkuat partisipasi komunitas
d)     Menciptakan lingkungan yang mendukung
e)      Reorientasi pelayanan kesehatan
e.       Tindakan pencegahan meliputi :
a)      Perlindungan balita, ibu hamil
b)      Pemberian makanan
c)      Perlindungan terhadap ancaman akibat kerja
d)     Perlindungan khusus yang bersifat karsinogenik
e)      Menghindari terhadap zat-zat alergi
f)       Menghindari minuman berakohol
g)      Menghindari merokok

2.      Spesific Protection
Spesific protection adalah upaya spesifik untuk mencegah terjadinya penularan penyakit tertentu. Spesific protection terdiri dari (Efendi, 1998 ; Maulana, 2009 ) :
a.       Memberikan imunisasi pada golongan yang rentan untuk mencegah terhadap penyakit-penyakit tertentu. Contohnya : imunisasi hepatitis diberikan kepada mahasiswi kebidanan yang akan praktek di rumah sakit.
b.      Isolasi terhadap penderita penyakit menular. Contohnya : isolasi terhadap pasien penyakit flu burung.
c.       Perlindungan terhadap kemungkinan kecelakaan di tempat-tempat umum dan di tempat kerja. Contohnya : di tempat umum, misalnya adanya rambu-rambu zebra cross agar pejalan kaki yang akan menyebrang tidak tertabrak oleh kendaraan yang sedang melintas. Sedangkan di tempat kerja : para pekerja yang memakai alat perlindungan diri.
d.      Peningkatan keterampilan remaja untuk mencegah ajakan menggunakan narkotik. Contohnya : kursus-kursus peningkatan keterampilan, seperti kursus menjahit, kursus otomotif.
e.       Penanggulangan stress. Contohnya : membiasakan pola hidup yang sehat , dan seringnya melakukan relaksasi.

B.     Contoh pencegahan primer dalam keperawatan keluarga.
Seperti pada kasus penyakit Herpes Zoster . Imunisasi tersedia bagi anak-anak yang berusia lebih dari 12 bulan. Imunisasi ini dianjurkan bagi orang di atas usia 12 tahun yang tidak mempunyai kekebalan.Penyakit ini erat kaitannya dengan kekebalan tubuh.
Pencegahan terutama dianjurkan pada anak-anak dengan imunodefisiensi atau imunosupresi, menggunakan Imunoglobulin G dengan titer antibodi spesifik yang tinggi pada plasma yang dikumpulkan dari penderita konvalesen (penyembuhan) penyakit Herpes Zoster (GIVZ). GIVZ tidak mempunyai nilai terapi jika diberikan setelah penyakit Varicella mulai timbul.

C.     Hubungan Pencegahan primer dalam keperawatan keluarga
Pencegahan primer dilakukan pada kelompok orang sehat yang belum terkena penyakit kusta dan memiliki risiko tertular karena berada di sekitar atau dekat dengan penderita seperti keluarga penderita dan tetangga penderita, yaitu dengan memberikan penyuluhan tentang kusta. Penyuluhan yang diberikan petugas kesehatan tentang penyakit kusta adalah proses peningkatan pengetahuan, kemauan dan kemampuan masyarakat yang belum menderita sakit sehingga dapat memelihara, meningkatkan dan melindungi kesehatannya dari penyakit kusta. Sasaran penyuluhan penyakit kusta adalah keluarga penderita, tetangga penderita dan masyarakat (Depkes RI, 2005).






BAB III
PENUTUP

A.    Simpulan
Pencegahan primer adalah peningkatan kesehatan dan perlindungan umum dan khusus terhadap penyakit-penyakit tertentu adalah usaha-usaha yang dilakukan sebelum sakit (pre pathogenesis), dan disebut dengan pencegahan primer.
Pencegahan primer dilakukan pada masa individu yang belum menderita sakit. Pencegahan primer terdiri dari promosi kesehatan (health promotion) dan perlindungan khusus (spesifiic protection).
1.      Promosi Kesehatan
2.      Spesific Protection

B.     Saran
Penulis menyarankan kepada para pembaca bahwa saya dari penulis menerima dengan lapang dada segala kritikan dan saran yang bersifat membangun demi sempurnanya makalah in. dan menyarankan kepada para pembaca hendaknya tidak hanya mengambil satu reperensi dari makalah ini saja dikarenakan saya dari penulis menyadari bahwa makalah ini hanya mengambil reperensi dari beberapa sumber saja.



DAFTAR ISI

http://iksirjauhari.blogspot.com/2013/05/teori-betty-neuman-kep-keluarga.html, Diakses pada tanggal 3 Juni 3013. Jam 20.00 Wita.
http://keperawatanpapua-uncen.blogspot.com/2012/07/askep-komunitas.htmlDiakses pada tanggal 3 Juni 3013. Jam 20.00 Wita.
Dikutip dari ( PDF ) Srinivasan L. Tools for community participation: a manual for training trainers in
Dikutip dari ( PDF ) participatory technique. New York, United Nations Development Programme, 1990.


Untuk lebih jelas, KLIK »»