Minggu, 09 Desember 2012

BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA


BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA

I.              Pengertian
Hiperplasia prostat jinak (benign prostatic hyperplasia) adalah pembesaran kelenjar periurethral yang mendesak jaringan prostat keperifer dan menjadi simpai bedah (pseudokapsul). BPH merupakan kelainan kedua tersering yang dijumpai pada lebih dari 50% pria berusia diatas 60 tahun.

II.           Etiologi
Ada beberapa teori yang mengemukakan penyebab terjadinya hipertropi prostat antar lain :
1.      Teori sel Stem ( Isaacs 1984,1987 )
Berdasarkan teori ini jaringan prostat pada orang dewasa berada pada keseimbangan antara pertumbuhan sel dan sel yang mati.Keadaan ini disebut Steady State. Pada jaringan prostat terdapat sel stem yang dapat berproli serasi lebih cepat sehingga terjadi hiperplasia kelenjar penuretral.
2.      Teori Mc Neal ( 1987 )
Menurut Mc Neal pembesaran  prostat jinak dimulai dari zona transisi yang letaknya sebelah proksimal dan spinater eksternal pada kedua sisi verumen tatum di zona periuretral.
3.      Teori Di Hidro Testosteron ( DHT )
Testosteron yang diohasilkan oleh sel leyding jumlah testosteron yang dihasilkan oleh testis kira-kira 90 % dari seluruh produksi testosteron. Sedang yang 10 % dihasilkan oleh kelenjar adrenal. Sebagian besar testosteron dalam keadaan terikat dengan protein dalam bentuk serum.
Bendung hormon ( SBH ) sekitar 20 % testosteron berada dalam keadaan bebas dan testosteron bebas inilah yang memegang peranan peranan dalam proses terjadinya pembesaran prostat testosteron  bebas dapat masuk ke dalam sel prostat dengan menembus membran sel ke dalam sitoplasma sel prostat sehingga membentuk DHT heseplar kompleks yang akan mempengaruhi asam RNA yang menyebabkan terjadinya sintyesis protein sehingga dapat terjadi profilikasi sel.

III.        Manifestasi Klinik
Gejala klinik dapat berupa :
  • Frekuensi berkemih bertambah
  • Nocturia
  • Kesulitan dalam memulai (hesitency) dan mengakhiri berkemih
  • Miksi terputus (hermittency)
  • Urine masih tetap menetes setelah selesai berkemih (terminal dribbling)
  • Pancaran miksi menjadi lemah (poor stream)
  • Rasa nyeri pada waktu berkemih (dysuria)
  • Rasa belum puas setelah miksi
Gejala kilinis tersebut diatas dapat terbagi 4 grade yaitu :
1.      Pada grade I  (congestif)
a.       Mula-mula pasien berbulan-bulan atau bertahun-tahun susah kencing dan  mulai mengedan.
b.      Kalau miksi merasa tidak puas.
c.       Urine keluar menetes dan puncuran lemah.
d.      Nocturia.
e.       Ereksi lebih lama dari normal dan libido lebih dari normal.
f.       Pada Citoscopy kelihatan hiperemia dan orifreum urether internal lambat laun terjadi varises akhirnya bisa terjadi pendarahan (blooding). 
2.      Pada Grade 2 (residual)
a.       Bila miksi terasa panas
b.      Nocturi bertambah berat
c.       Tidak dapat buang air kecil  (kencing tidak puas)
d.      Bisa terjadi infeksi  karena sisa air kencing
e.       Tejadi panas tinggi dan bisa meninggal
f.       Nyeri pad daerah pinggang dan menjalar keginjal.
3.      Pada grade 3 (retensi urine)
a.       Ischuria paradorsal
b.      Incontinential paradorsal
4.      Pada grade 4
a.       Kandung kemih penuh.
b.      Penderita merasa kesakitan.
c.       Air kencing menetes  secara periodik (overflow incontinential).
d.      Pada pemeriksaan fisik yaitu palpasi abdomen bawah untuk meraba  ada tumor kerena bendungan hebat.
e.       Dengan adanya infeksi penderita bisa meninggal  dan panas tinggi sekitar 40-41  C.
f.       Kesadaran bisa menurun.
g.      Selanjutnya penderita bisa koma 

Berdasarkan gambaran klinik hipertrofi prostat dapat dikelompokan dalam empat  (4) derajat gradiasi sebagai berikut :
Derajat
Colok Dubur
Sisa Volume Urine
I
II

III
IV
Penonjolan prostat, batas atas mudah diraba.
Penonjolan prostat jelas, batas atas dapat mudah dicapai.
Batas atas prostat tidak dapat diraba
< 50 ml
50 – 100 ml

> 100 ml
Retensi urine total

IV.        Pathofisiologi
Dengan bertambahnya usia akan terjadi perubahan keseimbangan testoteron estrogen, karena produksi testoteron menurun dan terjadi konversi testoteron menjadi estrogen pada jaringan adiposa diperifer. Bila perubahan mikroskopik ini terus berkembang akan terjadi perubahan patologi anatomik. Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostat, resistensi pada leher vesika dan daerah prostat meningkat, dan detrusor menjadi lebih tebal. Penonjolan serat detrusor kedalam kandung kemih dengan sistoskopi akan terlihat seperti balok yang disebut tuberkulasi. Fase penebalan detrusor ini disebut fase kompensasi otot dinding. Apabila kedaan ini berlanjut maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi berkontraksi sehingga terjadi retensi urine.
Biasanya ditemukan gejala obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi terjadi karena detrusor gagal berkontraksi sehingga kontraksi menjadi terputus.Gejala iritasi terjadi karena pengosongan kandung kemih yang tidak sempurna saat miksi atau pembesaran prostat yang menyebabkan rangsangan pada kandung kemih, vesika sering berkontraksi meskipun belum penuh. Apabila vesika menjadi dekompensasi, akan terjadi retensi urine sihingga pada akhir miksi masih ditemukan sisa urine dalam kandung kemih dan timbul rasa tidak tuntas pada akhir miksi. Jika keadaan ini berlanjut pada suatu saat akan terjadi kemacetan total, sehingga penderita tidak mampu lagi miksi.
Karena produksi urine terus terjadi maka vesika tidak mampu lagi menampung urine sehingga tekanan intra vesika terus meningkat melebihi tekanan tekanan sfingter dan obstruksi sehingga menimbulkan inkontinensia paradoks. Retensi kronik menyebabkan refluk vesiko-ureter, hidroueter, hidronefrosis dan gagal ginjal. Prose kerusakan ginjal dipercepat apabila terjadi infeksi. Sisa urine yang terjasi selama miksi akan menyebabkan terbentuknya batu endapan yang dapat menyebabkan hematuria, sistisis dan pielonefritis.

V.           Pemeriksaan Diagnostik
1.       Pemeriksaan radiologik seperti foto polos abdomen dan pielografi intravena.
2.       USG transabdominal atau transrektal (transrectal ultrasonography), untuk mengetahui pembesaran prostat, menentukan volume buli-buli, mengukur sisa urine dan keadaan patologi lain (tumor, divertikel, batu).
3.       Systokopi.
4.       IVP
5.       Urinalisa dan Kultur urine.

VI.        Komplikasi
Ø  Retensi Urine
Ø  Perdarahan
Ø  Perubahan VU; trabekulasi, divertikulasi.
Ø  Infeksi saluran kemih akibat kateterisasi
Ø  Hidroureter
Ø  Hidronefrosis
Ø  Cystisis, prostatitis, epididymitis, pyelonefritis.
Ø  Hipertensi, Uremia
Ø  Prolaps ani/rectum, hemorroid.
Ø  Gagal ginjal

VII.     Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dapat dilakukan berdasarkan derajat berat-ringannya hipertrofi prostat.
1.       Derajat I; biasanya belum membutuhkan tindakan pembedahan. Pengobatan konservatif yang dapat diberikan adalah penghambat adrenoreseptor alfa seperti; alfazosin, prazosin, dan terazosin.
2.       Derajat II; merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan. Biasanya dianjurkan untuk dilakukan reseksi endoskopik melalui urethra (trans urethra resection).
3.       Derajat III; pada derajat ini reseksi endoskopik dapat dilakukan secara terbuka. Pembedaahan terbuka dapat dilakukan melalui transvesikel, retropibik atau perineal.
4.       Derajat IV; pada derajat ini tindakan pertama adalah membebaskan klien dari retensi urine total, dengan memasang kateter atau sistostomi. Selanjutnya dapat dilakukan pembedahan terbuka. Untuk klien dengan keadaan umum lemah dapat diberikan pengobatan konservatif yaitu penghambat adrenoreseptor daan obat antiandrogen.
Pengobatan invasif lainnya ialah pemanasan prostat dengan gelombang mikro yang disalurkan kekelenjar prostat. Juga dapat digunakan cahaya laser yang disebut transurethral ultrasound guide laser induced prostatecthomy.

VIII.  Asuhan Keperawatan
A.     Pengkajian
1.       Sirkulasi ; peningkatan tekanan darah (efek pembesaran ginjal)
2.       Eliminasi           ; penurunan kekuatan /dorangan aliran urine
                                   keragu-raguan berkemih awal.
                                   Ketidak mampuan mengosongkan kandung kemih
                                   Nukturia, Disuria Dan Hematurioa
                                   ISK berulang, riwayat batu (stetis urine)
                                   Konstipasi
                                   Massa pada dibawah abdomen.
                                   Nyeri tekan kandung kemih
                                   Hernia ingiunalis
3.       Makanan dan Cairan; Anoreksia, mual, muntah, Penurunan berat badan.
4.       Nyeri                  : Nyeri supra pubis, nyeri panggul,punggung bawah.
5.       Kecemasan        ; Demam
6.       Seksualitas          ; Takut incontunesia atau menetes selama hubungan seksual
  Penurunan kontruksi ejakolansi
  Pembesaran, nyeri tekan pada prostat.

B.     Diagnosa Keperawatan
1.       Gangguan eliminasi retensi urine berhubungan dengan obstruksi mekanik pembesaran prostat, dekompensasi otot destrusor, ketidakmampuan kandung kemih untuk berkontruksi dengan adekuat ditandai dengan frekuensi keraguan berkemih, ketidakmampuan mengosongkan kandung kemih, distensi kandung kemih.
2.       Nyeri berhubungan dengan iritasi mukosa , ditandai  : keluhan nyeri meringis, gelisah.
3.       Resiko kekurangan kekurangan volume cairan berhubungan dengan hilangnya cairan tubuh secara tidak normal, seperti pendarahan melalui kateter, muntah.
4.       Ansietas  berhubungan dengan perubahan status kesehatan, kemungkinan prosedur bedah di tandai: peningkatan tekanan,ketakutan, kekhawatiran.
5.       Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi tentang proses penyakitnya ditandai: klien sering  menanyakan tentang keadaan penyakitnya.

C.     Intervensi/Rasional
o   Gangguan eliminasi retensi berhubungan dengan obstruksi mekanik, pembesaran prostat, dekonpensasi otot destrusor.
Tujuan :
-          Berkemih dengan jumlah yang cukup tak teraba disertai kandung kemih.
-          Menunjukkan residu pasca berkemih kurang dari 50 ml dengan tak adanya tetesan/kelebihan aliran.
Intervensi :
1.      Dorong klien untuk berkemih tiap 2 sampai 4 jam.
Rasional :   meminimalkan  retensi urine berlebihan pada kandung kemih.
2.      Observasi aliran urine. Perhatikan ukuran dari kekuatan
Rasional:    berguna untuk mengevaluasi obstruksi dan piulihan intervensi
3.      Awasi dan catat waktu, jumlah tiap berkemih. Perhatikan penurunan pengeluaran urine dan perubahan berat jenis.
Rasional:    retensi urinr meningkatkan tekanan dalam saluran perkemihan bagian atas yang dapat mempengaruhi ginjal.
4.      Anjurkan untuk  minum air 3000 ml/hari
Rasional:    peningkatan aliran cairan mempertahankan perfusi ginjal dan membersihkan ginjal, kandung kemih dari pertumbuhan  bakteri.
5.      Lakukan kateterisasi  dan perawatan parianal.
Rasional:    menurunkan resiko infeksi asendens.
6.      Kolaborasi pemberian Obat anti spasmodik, suoasitoria rektal, antibiotik
Rasional :   menghilangkan spasme kandung kemih, sedangkan antibiotik untuk melawan infeksi.

o   Nyeri berhubungan dengan iritasi mukosa, distensi kandung kemih,kolik ginjal,infeksi urinaria.
Tujuan :
-          Melaporkan nyeri hilang / terkontrol
-          Tampak rileks.
-          Mampu untuk tidur/istirahat dengan tepat
Intervensi :
1.      Kaji tingkat nyeri
Rasional:    memberi informasi dalam keefektifan intervensi.
2.      Plester selang drainase pada paha dan keteter pada abdomen.
Rasional:    mencegah penarikan kandung kemih dan erosi pertemuan penis skrotal.
3.      Pertahankan tirah baring.
Rasional:    mungkin diperlukan pada awal retensi akut namun ambulasi dini dapat memperbaiki pola berkemih normal.

o   Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan drainase kandung  kemih yang terlalu distensi secara kronik.
Tujuan :
-          Mempertahankan hidrasi adekauat dibuktikan oleh tanda vitat stabil, nadi perifer teraba, pengisian kapiler baik membran mukosa lembab.
Intervensi :
1.       Awasi output cairan tiap jam dan catat pengeluaran urine
Rasional:    diuresis cepat dapat mengakibatkan kekurangan volume total cairan karena tidak cukupnya jumlah natrium diabsorpsi dalam tubulus ginjal.
2.      Anjurkan infek oral berdasarkan kebutuhan individu
Rasional:    hemostatis, pengurangan cadangan dan peningkatan resiko dehidrasi hipopolemik 
3.      Awasi tekanan darah dan nadi obserfasi pengisian kafiler dan membran mukosa oral.
Rasional :  deteksi dini adanya hipopolemik sistem
4.      Kolaborasi pemerian cairan IV (garam faal hipertonik) sesuai kebutuhan.
Rasional :   pemberian cairan IV menggantikan cairan dan natrium yang hilang untuk mencegah / memperbaiki hipopolemik.

o   Ansietas  berhubungan dengan perubahan status kesehatan kemungkinan prosedur bedah.
Tujuan:
-          Tampak rileks
-          Melaporkan ansietas menurun sampai tingkat dapat ditangani
-          Menyatakan pengetahuan yang akurat tentang situasi
Intervensi :
1.      Bina hubungan saling percaya pada pasien atau keluarganya selalu ada di dekat pasien.
Rasional:    menunjukkan perhatian dan keinginan untuk membantu
2.      Berikan  informasi tentang prosedur dan tes khusus dan apa yang akan terjadi  contoh; kateter urine berdarah.
Rasional:    membantu pasien maemahami tujuan dari apa yang  dilakukan dan mengurangi masalah kesehatan karena ketidaktahuan termasuk ketakutan akan kanker.
3.      Dorong pasien/orang terdekat untuk menyatakan masalah.
Rasional:    mendefenisikan masalah memberikan kesempatan untuk menjawab pertanyaan, memperjelas kesalahan konsep dan solusi  pemecahan masalah.

o   Kurang pengetahuan  berhubungan dengan kurangnya informasi tentang proses pengobatan.
Tujuan:
-          Menyatakan pemahaman proses penyakit.
-          Berpartisipasi dalam proses pengobatan
Intervensi :
1.      Kaji ulang proses penyakitb pengalaman pasien.
Rasional:    memberikan dasar pengetahuan di mana pasien dapat membuat pilihan informasi terapi.
2.      Dorong menyatakan rasa takut/perasaan dan perhatian.
Rasional:    membantu pasien mengalami perasaan  dapat merupakan rehabilitasi vital.

D.     Implementasi
Implementasi atau pelaksanaan tindakan keperawatan dilakukan berdasarkan rencana tindakan keperawaatan yanag telah disusun tersebut diatas.

E.     Evaluasi
Tahap ini dilakukan dengan mengevaluasi tujuan yang telah dibuat, apakah tujuan pelaksanaan tindakan keperawatan telah mencapai kriteria hasil yang diharapkan.



DAFTAR PUSTAKA


  1. Corwin, J. Elizabeth, 2001, Buku Saku Pathofisiologi, EGC, Jakarta.

2.      Doenges, Moorhouse & Geissler, 2001, Rencana Asuhan Keperawatan, Penerbit EGC, Jakarta.

3.      Brunner & Suddarth, 2001, Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Vol. 3, EGC, Jakarta.

4.      Sjamsuhidajat & Wim de Jong, 1997, Ilmu Bedah, Penerbit EGC, Jakarta.

5.      Price & Wilson, 1995, Pathofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, Penerbit EGC, Jakarta.

6.      Staf Pengajar Patologi Anatomi FKUI, 1993, Patologi, Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar